Kamis, 24 Desember 2015

Buru-buru



Mungkin kemacetan di Jakarta adalah tema yang sudah usang untuk dibahas. Namun di sisi lain, tema kemacetan di tempat yang sama juga akan selalu up to date sampai entah kapan. Bahkan sekarang ‘Jakarta-Jakarta baru’ bermunculan di banyak tempat, terutama kota-kota besar di pulau Jawa. Saya sendiri tinggal di Yogyakarta; kota yang dikenal adem-ayem jauh dari kemacetan. Namun nampaknya label itu sudah beberapa tahun belakangan tanggal. Yogya kini layaknya ‘Jakarta mini’, macet dimana-mana, apalagi kalau pas jam sibuk di pagi dan sore hari.
Saya tidak akan berbicara kemacetan (karena sudah usang) di sini. Saya justru lebih tertarik dengan salah satu hal yang membikin macet, yaitu buru-buru (menurut saya itu faktor yang pokok). Istilah itu tentu tidak asing. Agar tidak rancu, mari kita telaah dulu asal kata ini. Kata ‘buru-buru’ lahir dari kata dasar ‘buru’ yang menurut KBBI adalah kata kerja yang artinya ‘mengejar’, ‘mencari’. Jadi orang yang sedang buru-buru adalah orang yang sedang mengejar atau mencari (apa saja).
Buru-buru menjadi salah satu penyebab kemacetan meskipun masalah macet itu sebenarnya  sangat kompleks. Kita lihat tiap kali ribuan bahkan jutaan orang berebut ruas jalan yang terbatas untuk dapat sampai ke tempat tujuan tepat waktu. Atau mungkin kita termasuk dalam kerumunan itu.
Barangkali bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka buru-buru. Misalnya saat berangkat kantor di pagi hari. Semua orang akan ‘turun ke jalan’ di jam yang hampir bersamaan. Mungkin karena mereka suka buru-buru. Contoh: masuk kantor pukul 8 – 9, tapi berangkat dari rumah jam 6 – 7. Padahal di jalan sudah pasti macet. Bagaimana tidak buru-buru? Kalau telat resikonya cukup besar. Apalagi sering, bisa di potong gaji. Bayangkan kalau mereka berangkat kantor 2 – 3 jam lebih awal, pasti lebih tenang dan tidak kesusu. Mungkin enggak ya? J
***
Agaknya buru-buru terjadi tidak hanya di perkotaan hari ini saja yang menyulut kemacetan. Bila kita tengok ke belakang, ke sejarah panjang bangsa Indonesia, banyak sekali peristiwa ‘ke-buru-buru-an’ yang terjadi dan mewarnai peristiwa-peristiwa penting di sejarah Indonesia modern. Ini perspective saya sendiri.
Peristiwa revolusi 45 atau bahasa lainnya proklamasi adalah peristiwa yang buru-buru. Proklamasi adalah peristiwa penting yang seharusnya ‘dilaksanakan secara saksama’ tapi tidak ‘dalam tempo yang sesingkat-singkatnya’. Sebab saksama memerlukan setidaknya perencanaan dan strategi yang matang.
Saat itu kejadiannya adalah pemuda-pemuda memaksa Soekarno untuk buru-buru memplokamirkan kemerdekaan. Saya tidak menyalahkan sikap pemuda waktu itu. Tapi kondisinya waktu itu jauh dari kata siap. Lembaga Negara belum ada, tentara seadanya, bahkan semacam jamuan makan malam untuk merayakannya pun tidak sempat digelar. Akibat ketidaksiapan untuk menyelenggarakan pemerintahan itulah Indonesia yang secara de jure merdeka, masih mendapat serangan bertubi-tubi dari pihak yang tidak rela Indonesia merdeka. Sekali lagi tidak mengecilkan peran pemuda yang memang semangatnya sangat bergelora pada waktu itu. Mungkin tanpa mereka, hari kemerdekaan bukan 17 Agustus 1945.
Syukurlah saat itu semua konflik dari luar maupun dari dalam bisa diredam. Sampai akhirnya ‘Sang Pemimpin Besar Revolusi’ itu turun di tahun 1966, Indonesia perlahan mulai menunjukkan diri sebuah bangsa berdaulat. Sang suksesor dengan segala kontradiksinya bahkan menjadikan Indonesia sangat kuat secara pertahanan dan keamanan maupun ekonomi. Konflik diredam dan suara rakyat pun dibungkam.
Kebungkaman itu akhirnya pecah 32 tahun setelahnya, tepatnya 1998 yang selanjutnya kita kenal dengan peristiwa reformasi. Memang sebelumnya sudah ada satu-dua orang atau kelompok yang ngedumel disana-sini. Tapi toh tetap tidak kedengaran atau belum sempat terdengar sudah hilang suaranya.
Agaknya peristiwa reformasi 98 pun dilakukan dengan buru-buru. Maksud saya bukan sebelum Mei ‘98 tapi sesudahnya. Sebelum Mr. President memutuskan untuk turun saat itu, ada rencana besar yang disusun oleh beberapa orang cerdik-cendikia di republik ini. Beberapa diantara mereka yang membujuk the Smiling General untuk turun secara ‘baik-baik’. Berhasil. Sang Presiden lengser. Jangan lupa pula peran mahasiswa dan banyak sekali aktifis dari pelbagai elemen masyarakat saat itu.
Namun, lagi-lagi, setelah presiden saat itu turun, yang terjadi adalah buru-buru. Memang sebelumya telah direncanakan untuk segera melakukan reformasi besar-besaran di DPR, MPR, dan badan eksekutif Negara saat itu. Tapi ‘segera’ tidak berarti terburu-buru.
___
Terdapat konotasi mengenai kata buru-buru di konteks ini. ‘Segera’  dalam konteks ini adalah melakukan dengan cepat, cermat dan tepat. Artinya, segala sesuatunya telah direncanakan secara matang dan dilaksanakan secara saksama. Sementara dalam ‘buru-buru’ ada kesan acuh, teledor, oportunis, yang penting cepat. Pun menurut KBBI, ‘buru’ yang menjadi kata dasar dari ‘buru-buru’ adalah kata kerja yang digunakan untuk konteks binatang mencari dan mengejar makanan. Akibatnya saat itu yang terjadi bukan reformasi seperti telah dikonsepkan sebelumnya, akan tetapi perebutan jatah kursi kosong.
Orang-orang oportunis yang banyak bermain saat itu akhirnya duduk di kursi pemerintahan, termasuk orang yang menggembar-gemborkan reformasi dan orangnya Pak Presiden sendiri. Hasilnya seperti yang kita lihat saat ini, arah reformasi tidak jelas. Indonesia sebelum dan sesudah reformasi SAMA SAJA.
___
Harapan baru untuk Indonesia lebih baik muncul tahun lalu, ketika seorang yang entah mengapa dan bagaimana tiba-tiba terkenal. Hebat. Dia maju menjadi calon presiden menantang seorang mantan prajurit besar dan menang.
Lagi-lagi yang terjadi, menurut saya, adalah buru-buru. Seorang yang baru 1 periode menjadi walikota dan belum genap 3 tahun menjadi gubernur langsung munggah dadi ratu (menjadi pemimpin tertinggi). Tidak bermaksud meremehkan siapapun, tapi untuk menjadi pemimpin, butuh lebih dari seorang yang murah senyum dan suka blusukan. Dan seperti peristiwa ke-buru-buru-an yang sudah-sudah, dampak yang dirasakan Indonesia secara umum tidak lebih baik. Dicabutnya subsidi BBM (dengan segala polemiknya) dan terjun-bebasnya Rupiah adalah kenyataan yang musti kita hadapi sekarang.
 Tentu kita tidak bisa buru-buru memutuskan itu karena banyak faktor lain yang  mempengaruhi. Karena ini adalah artikel yang dibikin ‘buru-buru’ sangat tidak mungkin menjelaskan semua detail peristiwa beserta data faktual. Logikanya pun mungkin belok-belok kesana-kemari. Tulisan saya ini hanya menyinggung, kalau orang-orang posmo menyebutnya ‘narasi besar’, opini iseng saya yang ‘buru-buru’ saya tulis. Mumpung lagi ada mood buat nulis. :)

Kamis, 26 Desember 2013

Dinasti dan Demokrasi


Tujuh tahun lalu saat ia, Ratu Atut Chosiyah, dilantik menjadi Gubernur Banten, ia tak pernah membayangkan petualangan politiknya bakal menemui jeruji besi. Mungkin ia merasa justru pada saat itu kekuasaan yang utuh akan ia genggam. Namun Selasa lalu, 17 Desember 2013, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur wanita itu sebagai tersangka. Ia dianggap bertanggung jawab atas ketakberesan dalam pengadaan alat kesehatan di Banten. Juga yang sudah diduga sebelumnya, ia, bersama adiknya Tubagus Chaeri Wardana, menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam sengketa pilkada Lebak.

Di Indonesia orang tak lagi terkejut bila seorang pemimpin melakukan korupsi. Kasus Atut hanya pengulangan dari apa yang sering terjadi di negeri ini. Ketika sebuah negeri sedang berjuang untuk lepas dari bayang-bayang rezim otoriter, ketika demokrasi makin semarak, rakyat justru dibuat jengah dengan ulah para pemimpin yang, padahal, mereka pilih sendiri. Pemimpin yang lahir dari rahim demokrasi.

Barangkali kita harus lebih hati-hati dengan istilah demokrasi. Demokrasi tidak dimulai dari kesempurnaan dan keutuhan, tapi kekurangan (lack). Sebuah ruang kosong (void) yang membuka kemungkinan-kemungkinan untuk terus dilengkapi, dengan ikhtiar tak kenal lelah oleh para pelaku demokrasi.

Demokrasi sebagai sistem pemerintahan diciptakan untuk meredakan konflik, perbedaan, chaos. Dibangun dengan prosedur yang praktis dan terkelola. Tapi ia, demokrasi itu, sebagai format, sebenarnya tak dapat sepenuhnya meringkus segala apa yang ‘aneka’ dan tak tertata. Demokrasi parlementer mengasumsikan adanya representasi. Dalam teori politik Alain Badiou, representasi itu adalah sebuah kesalahan.

Badiou, seorang filsuf kontemporer Perancis, menggunakan logika matematika untuk menjelaskan mengapa representasi dalam sistem demokrasi itu sudah usang. Massa, bagi Badiou, bukan satu. Massa (rakyat dalam suatu Negara) adalah sesuatu yang sifatnya jamak . Menurutnya ada dua macam kejamakan, yaitu kejamakan konsisten (consistent multiplicity) dan kejamakan inkonsisten (inconsistent multiplicity). Dalam sebuah peristiwa (event) keduanya selalu muncul. Dalam demokrasi kejamakan konsisten-lah yang dihitung. Sementara kejamakan inkonsisten (presentasi) adalah bagian yang tak dihitung, senantiasa luput.

Reprersentasi adalah tiruan dari presentasi. Pun dalam bahasa. Ilusi bahasa menganggap bahwa bahasa representasi dari realitas ‘asli’. Satu kata mewakili satu realitas. Lacan menolak itu. Ia, filsuf Perancis itu, menyebut bahasa selalu mengandung lack (kurang). Bahasa tak dapat menjangkau apa yang ia sebut the Real (dalam versi Inggris).

Barangkali Atut tak menyukai kekurangan. Ratu Atut ingin menjadi ratu yang sebenarnya, sehingga ia ciptakan dinastinya sendiri.
***
Konon, ‘kedinastian’ di Banten sudah mulai dibangun sejak era Orde Baru. Ayah Atut, Tubagus Chasan Sochib, mulai membangun fondasi dinasti itu sebelum Provinsi Banten resmi berdiri di tahun 2000. Ia, ayah  Atut, adalah seorang ‘jawara’ dari Banten. Layaknya seorang kyai di Jawa Timur, ia punya pengaruh sosial yang tinggi di masyarakat. Dengan itu ia mudah membangun kekuatan massa.

Bertahun-tahun berlalu dinasti itu kokoh berdiri. Ratu Atut duduk di kursi nomor satu. Sebagian besar jabatan penting di pemerintahan Provinsi, dijabat oleh ‘orang dalam’, keluarga Ratu Atut sendiri. Dinasti itu tampak sempurna hingga tak seorang pun dari mereka menyangka bahwa bangunan yang mereka tempati bisa sewaktu-waktu runtuh.

Sebuah dinasti selalu digambarkan dengan kemegahan dan kestabilan. Tapi disetiap kemegahan bangunan sebuah peradaban, ia berdiri di atas darah dan air mata. Jika kita lihat sebuah monumen penanda kebesaran sebuah peradaban, para budak dengan sisa tenaga dan harapan, tenggelam di bawah bangunan yang mereka dirikan. Ada ribuan mayat pekerja yang mati di bawah kemegahan Piramida di Mesir. Juga di bangunan monumental lainnya.

Kenyataan itu yang kita lihat sungguh terjadi di Banten. Kemegahan dinasti yang dipimpin Ratu Atut justru beralaskan kemiskinan dan keterbelakangan yang masih dirasakan sebagian masyarakat Banten. Saat Sang Ratu bersenang-senang dengan kekuasaan, rakyatnya tak kuasa untuk sekedar makan layak. Bahkan, kita tahu, Sang Ratu gemar mengkoleksi barang-barang mewah. Disaat bersamaan rakyat tak punya koleksi selain daftar hutang di sana-sini.

Tampak jelas ketimpangan yang terjadi. Tapi biarpun begitu Ratu Atut terpilih secara demokratis. Rakyat Banten sendiri yang memilih. Demokrasi yang menghitung rakyat hanya pada saat pemilihan umum  menjadikan suara rakyat sebagai angka-angka bukan sebuah hal yang harus diperjuangkan. Demokrasi yang menghilangkan suara-suara sumbang lewat konsensus dan negosiasi di parlemen.
Barangkali kita musti sadar bahwa demokrasi di Indonesia sudah mati. Demokrasi sekarang adalah demokrasi ‘abal-abal’. Politik sudah bukan lagi perjuangan untuk menyejahterakan rakyat. Politik hanya jadi ajang tukar menukar kekuasaan saat pemilihan umum. Politik seperti itu menghasilkan pemimpin yang bukan pemimpin.

Tapi demokrasi tak harus disingkirkan. Kita hanya perlu, barangkali, menimbang ulang gagasan demokrasi itu. Mengembalikan politik sebagai proses perjuangan. Kasus tertangkapnya Ketua MK, Akil Mochtar, yang juga menandai awal keruntuhan dinasti Banten, bisa menjadi contoh penegakan demokrasi di Negeri ini. Bung Karno pernah berkata ‘tak ada teori revolusi yang ready-for-use’, begitu pun demokrasi. Dengan semangat dan ikhtiar untuk terus memperjuangkan keadilan, harapan akan tegaknya demokrasi di Indonesia bisa terus ada.