Mungkin kemacetan di Jakarta
adalah tema yang sudah usang untuk dibahas. Namun di sisi lain, tema kemacetan
di tempat yang sama juga akan selalu up
to date sampai entah kapan. Bahkan sekarang ‘Jakarta-Jakarta baru’
bermunculan di banyak tempat, terutama kota-kota besar di pulau Jawa. Saya
sendiri tinggal di Yogyakarta; kota yang dikenal adem-ayem jauh dari kemacetan. Namun nampaknya label itu sudah
beberapa tahun belakangan tanggal. Yogya kini layaknya ‘Jakarta mini’, macet
dimana-mana, apalagi kalau pas jam sibuk di pagi dan sore hari.
Saya tidak akan berbicara
kemacetan (karena sudah usang) di sini. Saya justru lebih tertarik dengan salah
satu hal yang membikin macet, yaitu buru-buru (menurut saya itu faktor yang
pokok). Istilah itu tentu tidak asing. Agar tidak rancu, mari kita telaah dulu
asal kata ini. Kata ‘buru-buru’ lahir dari kata dasar ‘buru’ yang menurut KBBI
adalah kata kerja yang artinya ‘mengejar’, ‘mencari’. Jadi orang yang sedang
buru-buru adalah orang yang sedang mengejar atau mencari (apa saja).
Buru-buru menjadi salah satu
penyebab kemacetan meskipun masalah macet itu sebenarnya sangat kompleks. Kita lihat tiap kali ribuan
bahkan jutaan orang berebut ruas jalan yang terbatas untuk dapat sampai ke
tempat tujuan tepat waktu. Atau mungkin kita termasuk dalam kerumunan itu.
Barangkali bangsa Indonesia
adalah bangsa yang suka buru-buru. Misalnya saat berangkat kantor di pagi hari.
Semua orang akan ‘turun ke jalan’ di jam yang hampir bersamaan. Mungkin karena
mereka suka buru-buru. Contoh: masuk kantor pukul 8 – 9, tapi berangkat dari
rumah jam 6 – 7. Padahal di jalan sudah pasti macet. Bagaimana tidak buru-buru?
Kalau telat resikonya cukup besar. Apalagi sering, bisa di potong gaji. Bayangkan
kalau mereka berangkat kantor 2 – 3 jam lebih awal, pasti lebih tenang dan
tidak kesusu. Mungkin enggak ya? J
***
Agaknya buru-buru terjadi tidak
hanya di perkotaan hari ini saja yang menyulut kemacetan. Bila kita tengok ke
belakang, ke sejarah panjang bangsa Indonesia, banyak sekali peristiwa
‘ke-buru-buru-an’ yang terjadi dan mewarnai peristiwa-peristiwa penting di
sejarah Indonesia modern. Ini perspective saya sendiri.
Peristiwa revolusi 45 atau bahasa
lainnya proklamasi adalah peristiwa yang buru-buru. Proklamasi adalah peristiwa
penting yang seharusnya ‘dilaksanakan secara saksama’ tapi tidak ‘dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya’. Sebab saksama memerlukan setidaknya perencanaan dan
strategi yang matang.
Saat itu kejadiannya adalah pemuda-pemuda
memaksa Soekarno untuk buru-buru memplokamirkan kemerdekaan. Saya tidak
menyalahkan sikap pemuda waktu itu. Tapi kondisinya waktu itu jauh dari kata
siap. Lembaga Negara belum ada, tentara seadanya, bahkan semacam jamuan makan
malam untuk merayakannya pun tidak sempat digelar. Akibat ketidaksiapan untuk
menyelenggarakan pemerintahan itulah Indonesia yang secara de jure merdeka, masih mendapat serangan bertubi-tubi dari pihak
yang tidak rela Indonesia merdeka. Sekali lagi tidak mengecilkan peran pemuda
yang memang semangatnya sangat bergelora pada waktu itu. Mungkin tanpa mereka,
hari kemerdekaan bukan 17 Agustus 1945.
Syukurlah saat itu semua konflik
dari luar maupun dari dalam bisa diredam. Sampai akhirnya ‘Sang Pemimpin Besar
Revolusi’ itu turun di tahun 1966, Indonesia perlahan mulai menunjukkan diri sebuah
bangsa berdaulat. Sang suksesor dengan segala kontradiksinya bahkan menjadikan
Indonesia sangat kuat secara pertahanan dan keamanan maupun ekonomi. Konflik
diredam dan suara rakyat pun dibungkam.
Kebungkaman itu akhirnya pecah 32
tahun setelahnya, tepatnya 1998 yang selanjutnya kita kenal dengan peristiwa reformasi.
Memang sebelumnya sudah ada satu-dua orang atau kelompok yang ngedumel disana-sini. Tapi toh tetap
tidak kedengaran atau belum sempat terdengar sudah hilang suaranya.
Agaknya peristiwa reformasi 98
pun dilakukan dengan buru-buru. Maksud saya bukan sebelum Mei ‘98 tapi
sesudahnya. Sebelum Mr. President
memutuskan untuk turun saat itu, ada rencana besar yang disusun oleh beberapa
orang cerdik-cendikia di republik ini. Beberapa diantara mereka yang membujuk the Smiling General untuk turun secara
‘baik-baik’. Berhasil. Sang Presiden lengser. Jangan lupa pula peran mahasiswa
dan banyak sekali aktifis dari pelbagai elemen masyarakat saat itu.
Namun, lagi-lagi, setelah presiden
saat itu turun, yang terjadi adalah buru-buru. Memang sebelumya telah
direncanakan untuk segera melakukan reformasi besar-besaran di DPR, MPR, dan
badan eksekutif Negara saat itu. Tapi ‘segera’ tidak berarti terburu-buru.
___
Terdapat konotasi mengenai kata
buru-buru di konteks ini. ‘Segera’ dalam
konteks ini adalah melakukan dengan cepat, cermat dan tepat. Artinya, segala
sesuatunya telah direncanakan secara matang dan dilaksanakan secara saksama. Sementara
dalam ‘buru-buru’ ada kesan acuh, teledor, oportunis, yang penting cepat. Pun menurut
KBBI, ‘buru’ yang menjadi kata dasar dari ‘buru-buru’ adalah kata kerja yang
digunakan untuk konteks binatang mencari dan mengejar makanan. Akibatnya saat
itu yang terjadi bukan reformasi seperti telah dikonsepkan sebelumnya, akan
tetapi perebutan jatah kursi kosong.
Orang-orang oportunis yang banyak
bermain saat itu akhirnya duduk di kursi pemerintahan, termasuk orang yang
menggembar-gemborkan reformasi dan orangnya Pak Presiden sendiri. Hasilnya
seperti yang kita lihat saat ini, arah reformasi tidak jelas. Indonesia sebelum
dan sesudah reformasi SAMA SAJA.
___
Harapan baru untuk Indonesia
lebih baik muncul tahun lalu, ketika seorang yang entah mengapa dan bagaimana
tiba-tiba terkenal. Hebat. Dia maju menjadi calon presiden menantang seorang
mantan prajurit besar dan menang.
Lagi-lagi yang terjadi, menurut
saya, adalah buru-buru. Seorang yang baru 1 periode menjadi walikota dan belum
genap 3 tahun menjadi gubernur langsung munggah
dadi ratu (menjadi pemimpin tertinggi). Tidak bermaksud meremehkan
siapapun, tapi untuk menjadi pemimpin, butuh lebih dari seorang yang murah
senyum dan suka blusukan. Dan seperti
peristiwa ke-buru-buru-an yang sudah-sudah, dampak yang dirasakan Indonesia
secara umum tidak lebih baik. Dicabutnya subsidi BBM (dengan segala polemiknya)
dan terjun-bebasnya Rupiah adalah kenyataan yang musti kita hadapi sekarang.
Tentu
kita tidak bisa buru-buru memutuskan itu karena banyak faktor lain yang mempengaruhi. Karena ini adalah artikel yang
dibikin ‘buru-buru’ sangat tidak mungkin menjelaskan semua detail peristiwa
beserta data faktual. Logikanya pun mungkin belok-belok kesana-kemari. Tulisan
saya ini hanya menyinggung, kalau orang-orang posmo menyebutnya ‘narasi
besar’, opini iseng saya yang ‘buru-buru’ saya tulis. Mumpung lagi ada mood
buat nulis. :)