Kamis, 26 Desember 2013

Dinasti dan Demokrasi


Tujuh tahun lalu saat ia, Ratu Atut Chosiyah, dilantik menjadi Gubernur Banten, ia tak pernah membayangkan petualangan politiknya bakal menemui jeruji besi. Mungkin ia merasa justru pada saat itu kekuasaan yang utuh akan ia genggam. Namun Selasa lalu, 17 Desember 2013, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur wanita itu sebagai tersangka. Ia dianggap bertanggung jawab atas ketakberesan dalam pengadaan alat kesehatan di Banten. Juga yang sudah diduga sebelumnya, ia, bersama adiknya Tubagus Chaeri Wardana, menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam sengketa pilkada Lebak.

Di Indonesia orang tak lagi terkejut bila seorang pemimpin melakukan korupsi. Kasus Atut hanya pengulangan dari apa yang sering terjadi di negeri ini. Ketika sebuah negeri sedang berjuang untuk lepas dari bayang-bayang rezim otoriter, ketika demokrasi makin semarak, rakyat justru dibuat jengah dengan ulah para pemimpin yang, padahal, mereka pilih sendiri. Pemimpin yang lahir dari rahim demokrasi.

Barangkali kita harus lebih hati-hati dengan istilah demokrasi. Demokrasi tidak dimulai dari kesempurnaan dan keutuhan, tapi kekurangan (lack). Sebuah ruang kosong (void) yang membuka kemungkinan-kemungkinan untuk terus dilengkapi, dengan ikhtiar tak kenal lelah oleh para pelaku demokrasi.

Demokrasi sebagai sistem pemerintahan diciptakan untuk meredakan konflik, perbedaan, chaos. Dibangun dengan prosedur yang praktis dan terkelola. Tapi ia, demokrasi itu, sebagai format, sebenarnya tak dapat sepenuhnya meringkus segala apa yang ‘aneka’ dan tak tertata. Demokrasi parlementer mengasumsikan adanya representasi. Dalam teori politik Alain Badiou, representasi itu adalah sebuah kesalahan.

Badiou, seorang filsuf kontemporer Perancis, menggunakan logika matematika untuk menjelaskan mengapa representasi dalam sistem demokrasi itu sudah usang. Massa, bagi Badiou, bukan satu. Massa (rakyat dalam suatu Negara) adalah sesuatu yang sifatnya jamak . Menurutnya ada dua macam kejamakan, yaitu kejamakan konsisten (consistent multiplicity) dan kejamakan inkonsisten (inconsistent multiplicity). Dalam sebuah peristiwa (event) keduanya selalu muncul. Dalam demokrasi kejamakan konsisten-lah yang dihitung. Sementara kejamakan inkonsisten (presentasi) adalah bagian yang tak dihitung, senantiasa luput.

Reprersentasi adalah tiruan dari presentasi. Pun dalam bahasa. Ilusi bahasa menganggap bahwa bahasa representasi dari realitas ‘asli’. Satu kata mewakili satu realitas. Lacan menolak itu. Ia, filsuf Perancis itu, menyebut bahasa selalu mengandung lack (kurang). Bahasa tak dapat menjangkau apa yang ia sebut the Real (dalam versi Inggris).

Barangkali Atut tak menyukai kekurangan. Ratu Atut ingin menjadi ratu yang sebenarnya, sehingga ia ciptakan dinastinya sendiri.
***
Konon, ‘kedinastian’ di Banten sudah mulai dibangun sejak era Orde Baru. Ayah Atut, Tubagus Chasan Sochib, mulai membangun fondasi dinasti itu sebelum Provinsi Banten resmi berdiri di tahun 2000. Ia, ayah  Atut, adalah seorang ‘jawara’ dari Banten. Layaknya seorang kyai di Jawa Timur, ia punya pengaruh sosial yang tinggi di masyarakat. Dengan itu ia mudah membangun kekuatan massa.

Bertahun-tahun berlalu dinasti itu kokoh berdiri. Ratu Atut duduk di kursi nomor satu. Sebagian besar jabatan penting di pemerintahan Provinsi, dijabat oleh ‘orang dalam’, keluarga Ratu Atut sendiri. Dinasti itu tampak sempurna hingga tak seorang pun dari mereka menyangka bahwa bangunan yang mereka tempati bisa sewaktu-waktu runtuh.

Sebuah dinasti selalu digambarkan dengan kemegahan dan kestabilan. Tapi disetiap kemegahan bangunan sebuah peradaban, ia berdiri di atas darah dan air mata. Jika kita lihat sebuah monumen penanda kebesaran sebuah peradaban, para budak dengan sisa tenaga dan harapan, tenggelam di bawah bangunan yang mereka dirikan. Ada ribuan mayat pekerja yang mati di bawah kemegahan Piramida di Mesir. Juga di bangunan monumental lainnya.

Kenyataan itu yang kita lihat sungguh terjadi di Banten. Kemegahan dinasti yang dipimpin Ratu Atut justru beralaskan kemiskinan dan keterbelakangan yang masih dirasakan sebagian masyarakat Banten. Saat Sang Ratu bersenang-senang dengan kekuasaan, rakyatnya tak kuasa untuk sekedar makan layak. Bahkan, kita tahu, Sang Ratu gemar mengkoleksi barang-barang mewah. Disaat bersamaan rakyat tak punya koleksi selain daftar hutang di sana-sini.

Tampak jelas ketimpangan yang terjadi. Tapi biarpun begitu Ratu Atut terpilih secara demokratis. Rakyat Banten sendiri yang memilih. Demokrasi yang menghitung rakyat hanya pada saat pemilihan umum  menjadikan suara rakyat sebagai angka-angka bukan sebuah hal yang harus diperjuangkan. Demokrasi yang menghilangkan suara-suara sumbang lewat konsensus dan negosiasi di parlemen.
Barangkali kita musti sadar bahwa demokrasi di Indonesia sudah mati. Demokrasi sekarang adalah demokrasi ‘abal-abal’. Politik sudah bukan lagi perjuangan untuk menyejahterakan rakyat. Politik hanya jadi ajang tukar menukar kekuasaan saat pemilihan umum. Politik seperti itu menghasilkan pemimpin yang bukan pemimpin.

Tapi demokrasi tak harus disingkirkan. Kita hanya perlu, barangkali, menimbang ulang gagasan demokrasi itu. Mengembalikan politik sebagai proses perjuangan. Kasus tertangkapnya Ketua MK, Akil Mochtar, yang juga menandai awal keruntuhan dinasti Banten, bisa menjadi contoh penegakan demokrasi di Negeri ini. Bung Karno pernah berkata ‘tak ada teori revolusi yang ready-for-use’, begitu pun demokrasi. Dengan semangat dan ikhtiar untuk terus memperjuangkan keadilan, harapan akan tegaknya demokrasi di Indonesia bisa terus ada.