‘APAKAH
mempelajari Marxisme mensyaratkan, dan menggiring orang pada, ateisme?’
Pertanyaan demikian kerap mengganggu mereka yang tertarik dengan
gagasan-gagasan Marxis dan kiri secara umum, atau yang tertarik untuk mulai
membaca Marx serta mengoleksi teks-teks Marxisme. Beruntung jika setelah
bertanya, ia menemukan jalannya sendiri untuk mempelajari Marx; namun lebih
sering, dihantui rasa takut, lebih-lebih ditakut-takuti oleh pihak lain, orang
lebih memilih menjauhi nama itu, demi alasan ‘menjaga keutuhan akidah dan
iman.’
Tetapi, jika saya memilih teks Marx daripada teks
Osama, yang menjadi pertanyaan: apa motif saya memilih teks Marx? Apakah karena
nama Marx lebih terdengar bergengsi daripada Osama? Ataukah karena saya lebih
suka begitu saja, secara arbitrer, pada Marx daripada Osama, tanpa alasan yang
jelas? Banyak motif yang bisa muncul, baik karena alasan preferensial (suka/tak
suka) maupun karena alasan superfisial (nama Marx lebih ‘eksotis’). Tetapi,
saat mencoba beranjak dari motif-motif ini, saya akan menemukan bahwa
ketertarikan saya—misalnya—pada Marx didorong oleh motif karena sebagai wacana,
apa yang ditulis Marx membuat saya—sebagai pembaca, misalnya—lebih terdorong
untuk berpikir ulang tentang agama, daripada teks Osama yang membuat saya
semakin tertutup dalam beragama—argumen ini tentu dapat diperpanjang lagi.
Pergantian posisi ini yang diistilahkan oleh Slavoj Žižek sebagai
parallax atau pergantian-posisi-pengamat: berhadapan dengan seorang filsuf,
menurutnya, adalah memposisikan diri kita bukan sebagai pengamat bagi
pandangan-pandangan filsuf itu dan melakukan penilaian berdasarkan apa yang
kita inginkan darinya, melainkan, sebaliknya, memposisikan filsuf itu sebagai
pengamat bagi kita dan menjadikan kita seolah-olah ‘objek kritik’ di
hadapannya.
Dengan tetap menjadi materialis secara
filosofis, dan ateis secara ‘irreligius,’ Engels tidak menafikan karakter ganda
dari agama yang, tidak sesederhana stereotipe para filsuf Pencerahan, melihat
agama tidak melulu identik sebagai kekuatan kolot dan reaksioner. Seperti Marx
dari teks Kontribusi bagi Kritik Filsafat Hak Hegel, ia melihat karakter ganda
dari agama, yang mempertahankan tatanan yang dominan, namun di sisi lain dapat
mengubahnya.
Engels sepertinya tak akan
‘selamat’ di akhirat, tapi setidaknya selama di dunia, ia sudah memikirkan
sesuatu yang terlupakan dari perhatian orang-orang yang hanya berpikir untuk
masuk surga, sementara membiarkan tetangganya kelaparan.
Terdengar
seperti remeh, pertanyaan itu, namun demikian, merupakan pertanyaan, yang
bahkan para Marxis sendiri dan kaum kiri secara umum, belum dapat menjawabnya
dengan memuaskan. Selalu ada kebuntuan tertentu, ambiguitas tertentu, dalam
penyikapan kaum Marxis terhadap agama. Itu disebabkan karena terjadi
ketumpangtindihan antara sikap metodologis dan sikap aksiologis-ideologis
begitu mereka berhadapan dengan teks-teks Marx: sikap metodologis menuntut
teks-teks Marx didekati sebagai suatu teks ‘ilmiah’ yang terbuka untuk dikaji,
dipelajari, dikritik, sementara sikap aksiologis-ideologis menuntut bahwa
pendekatan itu tidak berhenti sebagai suatu wawasan pengetahuan, tetapi juga
harus memberi pengaruh dan bahkan membentuk ‘kepribadian,’ pikiran, dan
mentalitas ideologis si pembaca sebagai militan dan aktivis Marxis.
Kemenduaan
itu, paradoksnya, bukan akibat kesalahan para pembaca Marx, atau kita yang hari
ini mulai membaca Marx dan literatur-literatur Marxisme, tetapi muncul dari
teks-teks Marx sendiri, yang selalu berayun dan bergerak dalam ketegangan
antara kesatuan teori dan praktik, antara keinginan untuk memahami dan praktik
untuk mengubah. Dalam hal ini, Marx berhasil keluar dari kebuntuan debat
tentang prioritas antara pemikiran dan tindakan, antara refleksi dan aksi,
karena berpikir, bagi Marx, adalah suatu bentuk tindakan, sebagaimana secara
dialektis, bertindak adalah suatu bentuk kerja pemikiran dalam dunia nyata.
Dalam kapasitas itu Marx secara personal tampil sebagai pemikir sekaligus
aktivis pergerakan, dan teks-teksnya menjahit secara tak terpisahkan kedua
aspek ini: sisi yang bertolak dari konfrontasinya dengan gagasan-gagasan, di
satu sisi, dan sisi yang mencatat konfrontasi fisiknya dengan konstelasi
pergerakan dan aktivisme yang ia hadapi.
Ketumpangtindihan
itu muncul dari sini: kekaguman sebagian pembaca Marx terhadap Marx lalu seakan
meniscayakan bahwa mereka harus meniru Marx dan segala atribut personal, atau
juga jalan hidup, yang dipilihnya. Pilihan Marx sebagai seorang ateis lalu
dipahami sebagai keharusan untuk juga menjadi ateis, jika ingin menjadi Marxis.
Demikian juga, kekecewaannya pada agama diinternalisir sebagai kekecewaan yang
mesti ditelan mentah-mentah agar spirit Marxisme menetes dalam diri mereka.
Pertanyaannya
sekarang, dari mana muncul penerimaan bahwa Marxisme identik dengan ateisme?
Dari perangai para Marxis-kah, dari biografi hidup Marx, atau dari teks-teks
Marx sendiri? Perangai para Marxis, betapapun merefleksikan pemikiran Marxis
yang mereka anut, tidak cukup meyakinkan untuk menjamin kebenaran opini yang
telanjur menjadi stigma bagi Marxisme ini. Marxisme berkembang sebagai tradisi
pemikiran dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda-beda, diresepsi, dan
diapropriasi seturut kondisi-kondisi yang mensituasikan para Marxis tersebut.
Untuk tahu mengapa mereka ateis, seseorang mesti mempelajari konteks diskursif
Marxisme dan agama di ruang dan waktu tertentu di mana mereka hidup. Biografi
Marx, demikian juga, tidak cukup memberi landasan untuk membenarkan opini itu.
Marx, sebagaimana para sosialis dan komunis sebelumnya, tidak lepas dari
konteks diskursif yang mempertemukannya dalam konfrontasi dengan agama,
sehingga jika ia ateis, ada latar belakang biografis, sosial, dan politis, yang
tidak terhindarkan mesti juga dipelajari. Di antara biografi Marx dan
teks-teksnya, ada celah yang memungkinkan kita mencari jawaban atas pertanyaan
ini.
Sederhananya,
penting untuk mengetahui biografi Marx dan berbagai renik konteks kehidupannya,
namun lebih penting lagi, membaca teks-teks Marx untuk mengkaji secara persis
pemikiran dan teorinya tentang agama. Di antara biografi dan pembacaan atas
teks-teks itu, kita akan menemukan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara
Marxisme dan ateisme. Meski Marx memilih menjadi ateis, namun teks-teksnya
bukan suatu ajakan untuk memeluk ateisme, atau mengandung suatu perintah
‘suci’—yang mesti ditaati pembacanya—untuk berganti haluan pada ateisme.
Sebagai
sebuah teks ilmiah, apa yang ditulis tentang agama adalah sebuah wacana, wacana
tentang agama. Untuk menempatkan pandangan Marx tentang agama sebagai suatu
wacana tentang agama, teks Marx, tidak lebih istimewa daripada teks-teks lain
yang menulis tentang agama, layak dibaca pertama-tama dalam kapasitasnya
sebagai suatu tawaran metodologis. Dibaca secara metodologis, wacana ini
memberikan bahan kajian dan refleksi tentang agama, pertama-tama sebagai objek
kajian yang terbuka untuk dipelajari, dan kedua, sebagai salah satu cara—di
antara sekian banyak cara lain yang bisa ditempuh—untuk melihat agama dari
sudut pandang lain yang tidak normatif. Untuk melakukan pembacaan secara
metodologis ini, seseorang memang perlu melepaskan terlebih dulu
prasangka-prasangka pra-metodologisnya dan terbuka kepada wacana baru yang
hendak dipelajari.
Wacana
agama Marx, dilihat dari statusnya sebagai sebuah wacana tentang agama, tidak
berbeda dengan wacana agama yang ditulis oleh seorang pendakwah agama yang
paling konservatif atau fundamentalis sekalipun. Andaikan di depan saya ada
sebuah teks yang ditulis Marx, dan di sebelahnya, ada sebuah teks yang ditulis
oleh Osama bin Laden, tidak ada perbedaan antara keduanya dalam status keduanya
sebagai wacana tentang agama.
Apa
yang membedakan teks Marx persisnya dalam hal ini? Perbedaan teks Marx, lebih
lanjut, terletak pada fakta bahwa wacana agama yang dibawanya adalah suatu
kritik agama. Tidak berhenti pada fakta deskriptif tentang agama, Marx
melancarkan suatu kritik agama, dalam arti menempatkan ‘agama,’ dalam
‘totalitas’-nya, sebagai suatu objek kritis. Terlepas dari nantinya apakah
kritik ini fair atau tidak (suatu pertanyaan yang tidak ada salahnya diajukan
dalam proses pembacaan ini), pertama-tama, seseorang perlu mencoba melihat
pandangan agama Marx bukan menurut pandangan si pembaca, tetapi, secara
dialektis, melihat agama di mata Marx, sebagaimana dilihat dan dipikirkan oleh
Marx.
Dengan
cara pandang parallax—perubahan posisi sebagai pembaca dari pelaku kritik
menjadi objek kritik—terjadi eksteriorisasi, yakni kondisi ketika kita melihat
diri kita terbelah antara diri kita sebagaimana hadir kepada diri kita, dan
‘citra’ diri kita sebagaimana dihadirkan oleh pihak yang lain. Secara analogis
dapat dikatakan: melalui eksteriorisasi ini, kita melihat, di satu sisi, agama
sebagaimana yang kita anut hadir pada diri kita, namun, agama itu tidak lagi
sama karena di sisi lain, kita melihat agama sebagaimana dipikirkan oleh Marx
terpantul sebagai suatu hal baru yang berbeda dari apa yang kita pikirkan
tentang agama. Dengan demikian, terdapat dua ‘agama’ di sini: ‘agama’
sebagaimana yang saya yakini benar dan ‘agama’ sebagaimana dipikirkan oleh Marx
dan terpantul pada agama yang saya yakini benar, namun menghadirkan sesuatu
yang baru yang belum pernah saya pikirkan dalam agama yang saya yakini benar.
Dengan
eksteriorisasi ini, agama dapat menjadi objek kritik, tanpa seseorang yang
merasa beragama perlu melihat dengan motif personal apa kritik itu dilancarkan
(tanpa melihat apakah yang mengatakannya seorang ateis atau teis). Terjadi
gerak dari agama yang dihayati (interiorisasi) ke agama yang diamati
(eksteriorisasi). Juga terjadi gerak depersonalisasi: dari agama yang diyakini
secara pribadi ke agama sebagaimana yang ia lihat sebagai suatu fenomena
eksternal, yaitu agama sebagai institusi sosial, atau yang disebut Durkheim,
agama sebagai “fakta sosial”.
Bila
boleh diresume dalam beberapa paragraf saja—meskipun hal ini perlu diuji dengan
referensi tekstual yang ketat atas konstelasi teks-teks Marx sendiri—visi
kritik (atau lebih tepatnya, ‘metakritik’) dalam kritik agama Marx adalah
eksteriorisasi dan depersonalisasi agama ini, yaitu dorongan untuk menunjukkan
bahwa agama adalah suatu fenomena eksternal yang objektif, yang melampaui
gambaran agama sebagaimana diyakini oleh individu-individu pemeluk agama itu
sendiri. Bahwa agama, dengan kata lain, bukan sebagaimana ‘aku’ atau ‘engkau’
yakini, tetapi adalah yang ‘kita’ dan ‘mereka’ lakukan, sebagai suatu fenomena
sosial yang objektif, yang dapat diamati, sebagai rangkaian praktik yang
membentuk suatu ‘totalitas’ bernama agama. Agama sebagai fenomena eksternal
yang objektif ini—terlepas dari framing akademis yang dilakukan sesudahnya oleh
sosiologi agama—menerjemahkan visi Marx, yang merentang dari teks Pendahuluan
Kontribusi bagi Kritik Filsafat Hak Hegel sampai Ideologi Jerman, tentang
perlunya memperlihatkan, terutama bagi pemeluk agama, sifat keduniaan dari
agama: bahwa agama, begitu menjadi fenomena sosial—terlepas dari asal-usul
keilahian atau profetiknya, yang nyaris tidak pernah disinggung Marx—mesti
diperlakukan sebagai suatu kenyataan sosial yang sama objektif dan dapat
diamati sebagaimana fenomena-fenomena sosial yang lain.
Secara
anekdotal, Marx seperti ingin mengatakan: ‘Apapun yang engkau yakini atau
siapapun yang engkau sembah, dengan nama apapun engkau menyebut sesembahanmu,
atau dengan cara apapun engkau berdebat tentang siapa yang paling benar dalam
caramu meyakini sesembahanmu, engkau dalam kenyataannya mempraktikkan apa yang
engkau yakini dalam kehidupanmu sebagai makhluk sosial, dan hal terakhir ini
yang kulihat dan hendak kukritik.’
Kesimpangsiuran
persepsi tentang hubungan antara Marxisme dan agama, baik dari rata-rata
kalangan Marxis terhadap kaum beragama maupun dari rata-rata kaum beragama
terhadap Marxis, muncul dari kekaburan memahami posisi metodologis di mana Marx
berdiri, yang merembet pada pencampuradukan posisi aksiologis-ideologis yang
terbentuk kemudian. Dilihat dari rata-rata posisi Marxis terhadap kaum
beragama, kritik agama Marx tampak sebagai suatu penolakan total atas agama
sebagai ilusi yang harus ditinggalkan, di mana ateisme merupakan satu-satunya
jalan keluar. Sementara itu, dilihat dari pandangan rata-rata kaum beragama,
kritik Marx tampak sebagai permusuhan total terhadap agama, di mana penolakan
atas Marx dan penyematannya sebagai ateisme merupakan jalan keluar. Menarik melihat bahwa kedua posisi ini, meski
berbeda dalam solusinya, berangkat dari titik tolak asumsi yang sama.
Kekaburan
itu persisnya timbul dari pencampuradukan antara, kalau boleh saya istilahkan,
dua logika yang sama-sama benar dan absah dikenakan untuk mengidentifikasi
‘agama:’ logika spiritual dan logika dunia. Logika spiritual melihat agama
dengan parameter-parameter internal agama yang bertujuan memvalidasi kebenaran
agama yang diyakini sebagai suatu hal yang ilahiah, sakral, dan abadi.
Sementara, logika dunia melihat agama dengan parameter-parameter eksternal
agama, yaitu agama sebagai praktik dan institusi yang bekerja dengan
‘hukum-hukum dunia’ yang bisa diamati, dan dapat berubah seiring dengan
perubahan tata sosial yang membentuk dan dibentuknya.
Rata-rata
kaum beragama menilai apa yang dilakukan Marx dalam kerangka logika spiritual
yang mereka anut—sehingga kritik Marx dianggap serangan terhadap nilai-nilai
terdalam agama—ketika kritik itu, di sisi lain, justru dibangun dengan logika
dunia dan dialamatkan untuk memperlihatkan logika dunia dari agama itu sendiri.
Sementara itu, rata-rata kaum Marxis, dalam kerangka logika dunia yang mereka
anut, melihat kritik Marx ditujukan kepada logika spiritual agama, untuk
menggantinya dengan suatu logika spiritual ‘baru,’ suatu ‘agama’ baru, atau
suatu ‘kepercayaan’ baru—‘ateisme’—yang pada intinya adalah penolakan terhadap
agama. Dengan demikian, menjadi lengkap sudah disjungsi total antara keduanya
sehingga agama dan Marxisme dipostulatkan sebagai dua hal yang tidak pernah
dapat dipertemukan.
Untuk
mengurai simpul-simpul kebuntuan itu, apa yang bisa dilakukan adalah mencoba menempatkan
masing-masing logika pada ranah kebenarannya sendiri: logika spiritual agama
memiliki ranah kebenaran yang, pada-dirinya, dapat memvalidasi-diri, sejauh ia
berurusan dengan parameter-parameter internal agama. Dalam hal ini, sekadar
mengambil contoh, klaim agama tentang eksistensi Tuhan, misalnya, atau
eksistensi kehidupan pasca-kematian, merupakan ranah di mana agama dapat
memvalidasi-dirinya—dengan berbagai teologinya—karena hal-hal tersebut
merupakan ranah di mana logika dunia tidak dapat sepenuhnya memverifikasi,
tanpa terjebak oleh kebuntuan dan kesulitan-kesulitan. Dalam konteks klaim
internalnya, ada kebenaran agama yang, dilihat dari logika spiritual dan
‘rasionalitas agama,’ masuk akal dan dapat diterima, walaupun dilihat dari
logika dunia, kebenaran itu boleh jadi tidak masuk akal dan non-sense.
Di
sisi lain, logika dunia memiliki ranah kebenarannya sendiri, yang juga valid
pada-dirinya, ditinjau dari sudut bahwa ia dapat dipikirkan oleh ‘rasionalitas
faktual’ dunia itu sendiri. ‘Materialisme,’
sebagai suatu ontologi sosial (baca: pemikiran mendasar tentang masyarakat,
individu, dan sejarah), dalam hal ini, sebagai suatu bentuk logika dunia (baca:
cara memikirkan dunia sebagaimana adanya), memiliki kebenarannya yang dapat
divalidasi dengan rasionalitas yang dapat dikenali dan dipelajari dari
fakta-fakta dunia. Sebagai suatu logika dunia, materialisme berkepentingan
untuk mencoba memahami dunia dengan memahami perubahan-perubahan yang inheren
dan melekat pada dunia itu sendiri sebagai realitas yang ‘material.’ Agama
adalah salah satu realitas ‘material’ itu, sehingga bila logika dunia membaca
agama, ia membacanya dalam rangka memahami dinamika agama sebagai realitas
‘material.’ Dilihat dari logika dunia, hal ini masuk akal, walaupun dilihat dari
logika spiritual agama, hal ini akan dipandang menistai kesakralan agama—suatu
kekhawatiran yang sebenarnya terlalu berlebihan, dilihat dari logika dunia,
karena bagaimanapun agama bisa eksis karena ia berpijak di atas dunia.
Dengan
menempatkan kedua logika ini dalam ranah kebenarannya masing-masing, kita
sepertinya tidak akan kesulitan untuk menjawab, misalnya, mengapa rata-rata
Marxis belum bisa menerima agama sebagai suatu kenyataan ilahiah, karena mereka
melihat fenomena ‘spiritual’ agama dengan logika dunia. Sebaliknya, kita akan
mulai mengerti mengapa rata-rata kaum beragama tidak kunjung memahami
kapitalisme, misalnya, sebagai suatu persoalan sosial dan bukan moral semata,
karena mereka masih melihat perubahan-perubahan keduniaan dengan logika spiritual.
Ketidaksinkronan ini mengakibatkan ketidakmampuan kedua pihak untuk mengakui
kebenaran pihak lain, karena keduanya tidak melihat ranah di mana masing-masing
bekerja.
Dua
logika ini tentu kemudian tidak selamanya seterpisah kelihatannya, karena, di
antara kepekatan yang melapisi keduanya, terdapat titik-titik persinggungan,
titik-titik yang memungkinkan lahirnya hal-hal baru, pertemuan-pertemuan yang
tak terduga, dan persilangan-persilangan yang mengejutkan. Titik persinggungan
itu yang memungkinkan dunia dipikirkan oleh logika spiritual, yang
melahirkan—untuk menyebut contoh klasik—Teologi Pembebasan, dalam berbagai
versinya (Kristiani, Islam, atau Yahudi), atau pemikiran orang-orang seperti
Thomas Münzer, teolog pemimpin para petani revolusioner dari abad ke-16.
Gagasan-gagasan ini dapat dilihat sebagai pelampauan logika spiritual agama
untuk keluar dari ranah kebenarannya sendiri dan bertemu dengan kenyataan
faktual dunia. Di sisi lain, terdapat titik persinggungan yang memungkinkan
agama dipikirkan-ulang oleh logika dunia, seperti tercermin dari gagasan Engels
yang melihat kesejajaran antara sosialisme modern dan agama Kristen primitif,
dalam cita-cita pembebasan keduanya.
Pemikiran
Engels terdengar dari jauh seperti sebuah teologi, hingga kita akan salah
mengira bahwa dia seorang teolog. Di sisi lain, Münzer dari jauh tampak seperti
seorang ateis yang revolusioner, meski nyatanya ia seorang agamawan yang taat.
Kesan yang menipu ini barangkali sedikit isyarat, bahwa pada gilirannya menjadi
tidak relevan atribut ateis atau teis yang disandang. Ateisme mungkin adalah
pilihan yang masuk akal bagi sementara orang, walaupun tentunya bukan pilihan
cerdas dan terbaik. Tetapi, seorang ateis seperti Engels yang mau bersusah
payah memikirkan agama, setidaknya lebih baik, menurut logika dunia, daripada
seorang agamawan yang lebih sibuk memikirkan ‘keagungan’ agamanya, di tengah
masyarakat yang lapar dan pemerintahan yang korup.
***
oleh: Muhammad
Al-Fayyadl