Kamis, 26 Desember 2013

Dinasti dan Demokrasi


Tujuh tahun lalu saat ia, Ratu Atut Chosiyah, dilantik menjadi Gubernur Banten, ia tak pernah membayangkan petualangan politiknya bakal menemui jeruji besi. Mungkin ia merasa justru pada saat itu kekuasaan yang utuh akan ia genggam. Namun Selasa lalu, 17 Desember 2013, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur wanita itu sebagai tersangka. Ia dianggap bertanggung jawab atas ketakberesan dalam pengadaan alat kesehatan di Banten. Juga yang sudah diduga sebelumnya, ia, bersama adiknya Tubagus Chaeri Wardana, menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam sengketa pilkada Lebak.

Di Indonesia orang tak lagi terkejut bila seorang pemimpin melakukan korupsi. Kasus Atut hanya pengulangan dari apa yang sering terjadi di negeri ini. Ketika sebuah negeri sedang berjuang untuk lepas dari bayang-bayang rezim otoriter, ketika demokrasi makin semarak, rakyat justru dibuat jengah dengan ulah para pemimpin yang, padahal, mereka pilih sendiri. Pemimpin yang lahir dari rahim demokrasi.

Barangkali kita harus lebih hati-hati dengan istilah demokrasi. Demokrasi tidak dimulai dari kesempurnaan dan keutuhan, tapi kekurangan (lack). Sebuah ruang kosong (void) yang membuka kemungkinan-kemungkinan untuk terus dilengkapi, dengan ikhtiar tak kenal lelah oleh para pelaku demokrasi.

Demokrasi sebagai sistem pemerintahan diciptakan untuk meredakan konflik, perbedaan, chaos. Dibangun dengan prosedur yang praktis dan terkelola. Tapi ia, demokrasi itu, sebagai format, sebenarnya tak dapat sepenuhnya meringkus segala apa yang ‘aneka’ dan tak tertata. Demokrasi parlementer mengasumsikan adanya representasi. Dalam teori politik Alain Badiou, representasi itu adalah sebuah kesalahan.

Badiou, seorang filsuf kontemporer Perancis, menggunakan logika matematika untuk menjelaskan mengapa representasi dalam sistem demokrasi itu sudah usang. Massa, bagi Badiou, bukan satu. Massa (rakyat dalam suatu Negara) adalah sesuatu yang sifatnya jamak . Menurutnya ada dua macam kejamakan, yaitu kejamakan konsisten (consistent multiplicity) dan kejamakan inkonsisten (inconsistent multiplicity). Dalam sebuah peristiwa (event) keduanya selalu muncul. Dalam demokrasi kejamakan konsisten-lah yang dihitung. Sementara kejamakan inkonsisten (presentasi) adalah bagian yang tak dihitung, senantiasa luput.

Reprersentasi adalah tiruan dari presentasi. Pun dalam bahasa. Ilusi bahasa menganggap bahwa bahasa representasi dari realitas ‘asli’. Satu kata mewakili satu realitas. Lacan menolak itu. Ia, filsuf Perancis itu, menyebut bahasa selalu mengandung lack (kurang). Bahasa tak dapat menjangkau apa yang ia sebut the Real (dalam versi Inggris).

Barangkali Atut tak menyukai kekurangan. Ratu Atut ingin menjadi ratu yang sebenarnya, sehingga ia ciptakan dinastinya sendiri.
***
Konon, ‘kedinastian’ di Banten sudah mulai dibangun sejak era Orde Baru. Ayah Atut, Tubagus Chasan Sochib, mulai membangun fondasi dinasti itu sebelum Provinsi Banten resmi berdiri di tahun 2000. Ia, ayah  Atut, adalah seorang ‘jawara’ dari Banten. Layaknya seorang kyai di Jawa Timur, ia punya pengaruh sosial yang tinggi di masyarakat. Dengan itu ia mudah membangun kekuatan massa.

Bertahun-tahun berlalu dinasti itu kokoh berdiri. Ratu Atut duduk di kursi nomor satu. Sebagian besar jabatan penting di pemerintahan Provinsi, dijabat oleh ‘orang dalam’, keluarga Ratu Atut sendiri. Dinasti itu tampak sempurna hingga tak seorang pun dari mereka menyangka bahwa bangunan yang mereka tempati bisa sewaktu-waktu runtuh.

Sebuah dinasti selalu digambarkan dengan kemegahan dan kestabilan. Tapi disetiap kemegahan bangunan sebuah peradaban, ia berdiri di atas darah dan air mata. Jika kita lihat sebuah monumen penanda kebesaran sebuah peradaban, para budak dengan sisa tenaga dan harapan, tenggelam di bawah bangunan yang mereka dirikan. Ada ribuan mayat pekerja yang mati di bawah kemegahan Piramida di Mesir. Juga di bangunan monumental lainnya.

Kenyataan itu yang kita lihat sungguh terjadi di Banten. Kemegahan dinasti yang dipimpin Ratu Atut justru beralaskan kemiskinan dan keterbelakangan yang masih dirasakan sebagian masyarakat Banten. Saat Sang Ratu bersenang-senang dengan kekuasaan, rakyatnya tak kuasa untuk sekedar makan layak. Bahkan, kita tahu, Sang Ratu gemar mengkoleksi barang-barang mewah. Disaat bersamaan rakyat tak punya koleksi selain daftar hutang di sana-sini.

Tampak jelas ketimpangan yang terjadi. Tapi biarpun begitu Ratu Atut terpilih secara demokratis. Rakyat Banten sendiri yang memilih. Demokrasi yang menghitung rakyat hanya pada saat pemilihan umum  menjadikan suara rakyat sebagai angka-angka bukan sebuah hal yang harus diperjuangkan. Demokrasi yang menghilangkan suara-suara sumbang lewat konsensus dan negosiasi di parlemen.
Barangkali kita musti sadar bahwa demokrasi di Indonesia sudah mati. Demokrasi sekarang adalah demokrasi ‘abal-abal’. Politik sudah bukan lagi perjuangan untuk menyejahterakan rakyat. Politik hanya jadi ajang tukar menukar kekuasaan saat pemilihan umum. Politik seperti itu menghasilkan pemimpin yang bukan pemimpin.

Tapi demokrasi tak harus disingkirkan. Kita hanya perlu, barangkali, menimbang ulang gagasan demokrasi itu. Mengembalikan politik sebagai proses perjuangan. Kasus tertangkapnya Ketua MK, Akil Mochtar, yang juga menandai awal keruntuhan dinasti Banten, bisa menjadi contoh penegakan demokrasi di Negeri ini. Bung Karno pernah berkata ‘tak ada teori revolusi yang ready-for-use’, begitu pun demokrasi. Dengan semangat dan ikhtiar untuk terus memperjuangkan keadilan, harapan akan tegaknya demokrasi di Indonesia bisa terus ada.

Rabu, 19 Juni 2013

Pada sebuah jalan diagonal



pada sebuah jalan diagonal
ada bangunan berdiri megah
sekitarnya bangunan hanya rendah

selarik mantra yang tak minta dibaca
terukir rapi di bawah matahari yang berpendar
tepat di tembok sebuah balairung sepi
hanya gema yang tersisa
dari sebuah slogan yang patah

5 tahun yang lalu
waktu pertama aku tak sengaja
berpapasan, lalu ku sapa ia
sebuah pertemuan yang dingin
aku bahkan tak sempat melihat punggungnya

di dalam
tak ada semak dan beringin
hanya angin
yang seringkali membawa aroma tahi
kerbau yang tak malu
menyelinap di ruang-ruang kuliah yang kotak

aku duduk
memandang dari seberang jalan
sembari menunggu makan malam
bersama seorang rekan yang mungkin
tak peduli dengan nasib
ia suka pakai peci, lurus dan kaku

seperti rumput yang tak pernah belajar menari
otak menolak untuk beku
kenangan menggurat tintanya
pada kertas kaku
dan toga yang kedodoran

aku tak pernah mendapat apa-apa di sana
bahkan cinta

mungkin bulan sayu malam itu
hanya lengking tajam dari sempritan
satpam yang terdengar di gerbang depan
pada setiap detik di tepi hari
dan poster-poster yang bosan
tak mengatakan apapun

lebih dari sekadar bangunan
di sana hitam, putih melebur dalam ke-abu-abu-an

mungkin canda,
tawa yang menyembunyikan tangis sendu
tak pernah menjelaskan apa-apa
tapi kekonyolan yang seakan menertawakan
buku-buku tebal di dalam ruang dosen yang ‘mambu mall’

laku kenthir yang lepas
sejarah yang koplak
semua itu hidup
dalam ingatanku
ingatan sebagian kalian

Minggu, 16 Juni 2013

The Man of Steel




Masa kecil adalah suatu masa dimana manusia hidup seperti di surga. Anak-anak  punya kebebasan yang, meski tidak mutlak, luas untuk melihat dan menafsir dunianya tanpa dibebani embel-embel yang memberatkan. Saya teringat kala itu saat memakai topeng dengan memegang galah kecil beraksi layaknya ksatria baja hitam atau power rangers. Tentu mereka, dan saya, sangat menyukai tontonan yang menyuguhkan aksi heroik dari para ikon superhero di layar kaca. Dengan mengenakan sarung milik bapak untuk dikenakan di punggung, jadilah saat itu kita layaknya: Superman.

Agaknya cita-cita adalah milik semua individu dan bukan hanya hak anak-anak saja. Ketika pada masa kecil, setiap orang ingin menjadi jagoan yang membela kebenaran, menangkap penjahat, melindungi orang lain, dipuja orang lain, cita-cita itu sejatinya masih ada dalam benak mereka saat beranjak dewasa. Namun ketika berhadapan dengan ‘musuh’, yaitu realitas sehari-hari meraka seolah lupa dengan cita-cita masa kecilnya yang sangat mulia itu. Mungkin seiring dengan perkembangan ‘nalar’, sikap oportunis dan ekonomis lebih dianggap menguntungkan karena hasilnya langsung diperoleh saat itu juga atau jika harus menunggu pun tidak lama.

Kita tahu cita-cita, dalam hal ini harapan, adalah sebuah pegangan bagi manusia untuk menjalani hidup yang absurd. Hidup yang, untuk meminjam bahasa Goenawan Mohamad; 'seperti hujan yang gagal'. Ia yang memberi arti pada diri. Sekali harapan itu musnah, taka ada berarti lagi hidup. Mungkin itu pesan yang ingin disampaikan dalam film terbaru dari serial terkenal Superman: The Man of Steel. Saya bersama beberapa rekan baru saja menontonnya. Saya baru tahu kalau arti lambang ‘S’ di dada busungnya itu ‘harapan’.

Superman, secara etimologis, berarti manusia yang melampaui manusia secara umum. Ia dilahirkan, menurut cerita, dengan kelebihan khusus. Terasa sangat jelas bahwa ia ‘bukan manusia’. Tentu, ia bukan dari bumi. Ia berasal dari planet nun jauh di galaksi sana, krypton. Pada satu adegan, saat ia bersama teman-teman sekolahnya menaiki bus hendak ke suatu tempat, tiba-tiba bus itu mengalami pecah ban tepat ditengah sebuah jembatan sempit tanpa pembatas. Pengemudi tak kuasa mengendalikan laju bis yang liar dan akhirnya, tak bisa dihindari, bus itu terjun bebas ke sungai yang cukup dalam. Secara normal ia dan semua rekannya akan mati dan praktis setelah itu, cerita usai. Tapi ada yang ‘bukan manusia’ di dalam bus itu. Saat semua penumpang bus tenggelam dalam tangis dan hampir putus asa, sang dewa menunjukan kuasanya. Diangkatnya bus itu ke permukaan dan selamatlah semua penumpang.

Namun Clark, nama anak itu, juga boleh dibilang manusia karena ia dibesarkan oleh orang tua angkatnya, dari bayi sampai dewasa. Persis seperti anak normal lainnya. Ia pun sekolah, membaca buku, dan, yang khas manusia, jatuh cinta. Hal ini sedikit banyak membentuk kepribadian sang manusia super itu. Asah, asih, asuh dari orang tua yang ditakdirkan untuk mendidik dan merawatnya itu, membentuk jiwa penuh welas asih dari sang manusia super. Mungkin karena itu bagian dari scenario film, karena bisa saja ia ditemukan oleh orang yang ‘salah’.

Menarik dalam film itu adalah sosok utama pada diri Clark Kent. Pergulatan dalam dirinya antara takdir dan kebebasan, antara jiwa patriotik dan kemanusiaan, antara super dan man, sangat menggelitik untuk setidaknya ‘disentil’. Sebagai orang beragama tentu sudah selayaknya untuk percaya kepada takdir karena memang setiap agama memberi doktrin itu, mungkin juga isme-isme lain. Sebuah jalan hidup yang memang sudah digariskan oleh yang maha mengetahui, Tuhan. Tapi di sisi lain, manusia juga punya kebebasan. Kebebasan yang diperoleh karena kata Sartre, kita manusia oleh karenanya kita bebas.

Sedikit menilik ke awal cerita, ia memang seolah ditakdirkan lahir sebagai manusia khusus. Ia adalah anak seorang ‘purnawirawan’ jendral dari planet krypton. Otomatis, kelak ia juga akan menjadi seorang ksatria untuk bangsanya. Yang membuatnya khusus adalah kelahirannya yang normal alamiah dari Rahim seorang wanita, yaitu ibunya sendiri, Lara. Kelahiran ini adalah sebuah kejadian langka di planet krypton yang mempunyai tradisi untuk mementukan nasib seorang individu, bahkan sejak masih janin. Agaknya sang ayah, Jar El, menyadari bahwa anaknya bukanlah boneka, dan ia harus bebas. Lalu ia memutuskan untuk megirim si anak ke Planet yang jauh agar bias terbebas dari tradisi. Pilihan yang tepat, mungkin pula tidak, adalah Bumi.

Syahdan, ketika ia harus menghadapi Jendral Zod dan pengikutnya yang tersisa dari planet crypton yang sudah ambrol, ia dihadapkan pada pilihan yang sulit. Memilih membela Bumi yang selama ini ia tinggali atau ‘menjalani takdir’ sebagai ksatria untuk bangsanya. Pilihan antara menjadi humanis atau patriotik. Pada akhirnya ia memilih untuk bebas dari jerat takdir yang memaksanya untuk menjadi seorang ksatria bangsanya. Ia memilih untuk jadi ‘humanis’ dengan melawan si Jendral, yang ingin mendirikan imperium krypton baru di Bumi, begitu ceritanya. Sudah bisa ditebak, Superman yang humanis itu menang. Superman telah memilih untuk menjadi manusia sperti pada umumnya


Selalu ada yang bisa dipungut dari sebuah kejadian. Agaknya itu pula yang dapat diambil dari film the man of steel yang baru-baru ini tayang. Film yang secara implisit mengisahkan seorang subjek yang terbelah, tak utuh. Sekalipun ia manusia super. Mungkin ia manusia baja, atau dalam judul lain, The Man From Tommorow. Tapi embel-embel man, tetap menjejakkan kakinya ke Bumi, bukan dewa di awang-awang. Ia tak lepas dari kecut yang merembes dari musim. Tegangan antara takdir dan kebebasan senantiasa melekat di bajunya yang ketat.

Minggu, 02 Juni 2013

Pancasila dan Ketuhanan



“…Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”


Begitulah tertulis pada bagian terakhir alinea ke-4 dari pembukaan UUD 1945. Terdapat lima butir sila yang Negara Indonesia harus berdasarkan kepadanya. Lima butir itulah yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Sekarang, tanggal teks ini ditulis, adalah 1 Juni 2013; hari yang diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Sudah lebih dari enam dasawarsa Pancasila hidup dan menjadi dasar Negara dan pedoman hidup bagi bangsa Indonesia.

Secara de facto, Pancasila sejatinya sudah menjadi falsafah dan nilai-nilai luhur orang-orang Nusantara (sebelum lahirnya Indonesia) sejak dahulu kala. Bung Karno pernah mengatakan bahwa dia bukanlah pencetus Pancasila. Dia hanya menggali kembali nilai-nilai luhur bangsa yang sudah lama terkubur dan terlupakan. Artinya, Pancasila ini pernah ada jauh sebelum para koloni menduduki nusantara ini. Sampai sejauh Bung Karno menggali nilai-nilai itu akhirnya beliau rumuskannya ke dalam lima butir sila atau dalam bahasa Sansekerta Pancasila,  yang pada intinya adalah Gotong Royong.

Dari rentang sejarah sejak kelahirannya secara ‘resmi’ hampir 70 tahun silam, Pancasila telah mengalami berbagai ujian. Era Orde Baru menjadikan Pancasila sebuah mantra keramat yang penuh kuasa untuk merepresi lawan politik bahkan kebebasan rakyat untuk berpendapat, berekspresi dan mencoba menawarkan tafsir yang berbeda dari tafsir penguasa saat itu. Selanjutnya Pancasila hanya menjadi semacam slogan simbol eksklusif dari kekuasaan yang sama sekali jauh dari pengamalannya.

Runtuhnya Orde Baru tidak otomatis membuat Pancasila kembali memperlihatkan taringnya. Justru yang terjadi adalah semacam ‘trauma sosial’ terhadap dasar Negara Indonesia tersebut. Masyarakat menganggap Pancasila adalah retorika politik semata, yang justru merepresi hak mereka untuk berkreasi dan berpendapat, disamping derasnya paham-paham baru terutama liberalisme barat yang masuk dan mencoba menawarkan sebuah kebebasan manusia dalam mengaktualisasikan diri. Semakin reduplah pancasila saat itu. Goenawan Mohamad menganalogikan ‘pengsakralan’ Pancasila oleh Orde Baru ibarat penculikan Sita oleh Rahwana. Ketika Sita berhasil direbut dari tangan Rahwana, orang-orang mempertanyakan kembali kesucian Sita –bahkan menurut cerita Sita terlebih dahulu dibakar untuk membuktikan kesuciannya kepada Rama.

Saya kira analogi tersebut ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya relevan. Mengingat arah reformasi yang semakin tak jelas, bangsa Indonesia membutuhkan sebuah landasan dasar, dalam bahasa Bung Karno philosophische grondslag, yang mendasari sikap mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan itu adalah Pancasila. Untaian kata dari setiap sila dari pancasila, bukanlah sekadar hafalan doa, mantra, apalagi retorika. Memang secara bahasa cukup estetis, tetapi akan sangat indah jika pengamalan dari kelima sila itu dikerjakan dalam laku sehari-hari. Pepatah jawa mengatakan ‘ngelmu kuwi kalakone kanthi laku’, seseorang bisa disebut ‘berpancasila’ jika dalam laku kesehariannya menjunjung tinggi nilai-nilai yang ada di dalam pancasila itu sendiri.

Sila pertama berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Kalimat yang indah sekaligus dalam dan sarat makna. Mungkin saja Bung Karno sudah memperhitungkan hal ini, meskipun beliau sendiri tak memungkiri bahwa urutan sila dari pancasila tidak punya makna yang hierarkis, akan tetapi setiap sila saling mendukung satu sama lain. Menurut saya, tanpa mengacuhkan sila yang lain, sila pertama ini adalah motor penggerak, ruh yang menjiwai pancasila itu sendiri. Mungkin saya ingat pernah membaca teks mengenai seorang Filsuf Yunani, Aristoteles, yang pernah mengatakan bahwa Causa Prima (dia tidak menyebut tuhan) adalah penggerak pertama yang menyababkan benda-benda lain bergerak sedangkan geraknya sendiri tidak disebabkan dan tidak tergantung dengan yang lain.

Kata Esa dalam kalimat Ketuhanan yang maha esa juga punya problem makna tersendiri. Esa sering diartikan dengan satu. Kita tahu, esa bukan eka. Jika Tuhan itu satu, artinya esensi dari Tuhan telah direduksi. Bagaimana mungkin Ia, yang dalam kitab suci disebutkan, tak serupa dengan apapun, dijerat oleh simbolisasi angka satu. Ketika orang mengatakan Tuhan itu satu maka persis disitulah tragedy dimana, untuk meminjam istilah Nitzsche, Got Its Tot. Tuhan mati justru di tempat-tempat suci dimana Ia disembah. Ia dikerangkeng untuk tidak lari menyambangi tempat-tempat kumuh di pinggiran kali, gubuk-gubuk reyot di kolong jembatan, tenda-tenda pengungsian dan bahkan tempat-tempat prostitusi yang hina. Seakan-akan tuhan hanya milik orang ‘beragama’ saja. Padahal dalam Weda, kitab suci Hindu, terdapat sebuah seruan yang cukup jelas berbunyi Om, anobadrah kratavo yantu visvatah yang artinya Ya Tuhan, semoga kebenaran datang dari segala penjuru.


Kita tahu di Indonesia ini, berbicara mengenai Tuhan, juga Agama, dinilai masih cukup ‘berbahaya’. Sensitif dan sentimentil. Kerukunan antar umat beragama yang dicita-citakan sangat sulit diwujudkan. Masih sangat langka dijumpai penghargaan terhadap kaum minoritas, bahkan dalam satu agama. Terkadang orang masih terjebak pada fanatisme sempit yang didasari oleh sifat narsisme yang menganggap dirinya paling benar dan, yang paling buruk, mengutuk dan ‘mengkafirkan’ orang lain yang tidak seagama. Mungkin karena orang Indonesia lebih memuliakan agama dari pada Tuhan. Bagaimanapun agama dengan syariat dan ritual di dalamnya adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dan jika seseorang sudah dekat dengan Tuhannya, tentu perilaku dan sikap terhadap sesama akan baik, penuh kasih dan sayang, mengasihi dan melayani. Sebagaimana sifat Tuhan ar Rahman dan ar Rahim.

Sabtu, 25 Mei 2013

Marxisme dan Ateisme



‘APAKAH mempelajari Marxisme mensyaratkan, dan menggiring orang pada, ateisme?’ Pertanyaan demikian kerap mengganggu mereka yang tertarik dengan gagasan-gagasan Marxis dan kiri secara umum, atau yang tertarik untuk mulai membaca Marx serta mengoleksi teks-teks Marxisme. Beruntung jika setelah bertanya, ia menemukan jalannya sendiri untuk mempelajari Marx; namun lebih sering, dihantui rasa takut, lebih-lebih ditakut-takuti oleh pihak lain, orang lebih memilih menjauhi nama itu, demi alasan ‘menjaga keutuhan akidah dan iman.’

Tetapi, jika saya memilih teks Marx daripada teks Osama, yang menjadi pertanyaan: apa motif saya memilih teks Marx? Apakah karena nama Marx lebih terdengar bergengsi daripada Osama? Ataukah karena saya lebih suka begitu saja, secara arbitrer, pada Marx daripada Osama, tanpa alasan yang jelas? Banyak motif yang bisa muncul, baik karena alasan preferensial (suka/tak suka) maupun karena alasan superfisial (nama Marx lebih ‘eksotis’). Tetapi, saat mencoba beranjak dari motif-motif ini, saya akan menemukan bahwa ketertarikan saya—misalnya—pada Marx didorong oleh motif karena sebagai wacana, apa yang ditulis Marx membuat saya—sebagai pembaca, misalnya—lebih terdorong untuk berpikir ulang tentang agama, daripada teks Osama yang membuat saya semakin tertutup dalam beragama—argumen ini tentu dapat diperpanjang lagi.

Pergantian posisi ini yang diistilahkan oleh Slavoj Žižek sebagai parallax atau pergantian-posisi-pengamat: berhadapan dengan seorang filsuf, menurutnya, adalah memposisikan diri kita bukan sebagai pengamat bagi pandangan-pandangan filsuf itu dan melakukan penilaian berdasarkan apa yang kita inginkan darinya, melainkan, sebaliknya, memposisikan filsuf itu sebagai pengamat bagi kita dan menjadikan kita seolah-olah ‘objek kritik’ di hadapannya.


Dengan tetap menjadi materialis secara filosofis, dan ateis secara ‘irreligius,’ Engels tidak menafikan karakter ganda dari agama yang, tidak sesederhana stereotipe para filsuf Pencerahan, melihat agama tidak melulu identik sebagai kekuatan kolot dan reaksioner. Seperti Marx dari teks Kontribusi bagi Kritik Filsafat Hak Hegel, ia melihat karakter ganda dari agama, yang mempertahankan tatanan yang dominan, namun di sisi lain dapat mengubahnya.


Engels sepertinya tak akan ‘selamat’ di akhirat, tapi setidaknya selama di dunia, ia sudah memikirkan sesuatu yang terlupakan dari perhatian orang-orang yang hanya berpikir untuk masuk surga, sementara membiarkan tetangganya kelaparan.




Terdengar seperti remeh, pertanyaan itu, namun demikian, merupakan pertanyaan, yang bahkan para Marxis sendiri dan kaum kiri secara umum, belum dapat menjawabnya dengan memuaskan. Selalu ada kebuntuan tertentu, ambiguitas tertentu, dalam penyikapan kaum Marxis terhadap agama. Itu disebabkan karena terjadi ketumpangtindihan antara sikap metodologis dan sikap aksiologis-ideologis begitu mereka berhadapan dengan teks-teks Marx: sikap metodologis menuntut teks-teks Marx didekati sebagai suatu teks ‘ilmiah’ yang terbuka untuk dikaji, dipelajari, dikritik, sementara sikap aksiologis-ideologis menuntut bahwa pendekatan itu tidak berhenti sebagai suatu wawasan pengetahuan, tetapi juga harus memberi pengaruh dan bahkan membentuk ‘kepribadian,’ pikiran, dan mentalitas ideologis si pembaca sebagai militan dan aktivis Marxis.

Kemenduaan itu, paradoksnya, bukan akibat kesalahan para pembaca Marx, atau kita yang hari ini mulai membaca Marx dan literatur-literatur Marxisme, tetapi muncul dari teks-teks Marx sendiri, yang selalu berayun dan bergerak dalam ketegangan antara kesatuan teori dan praktik, antara keinginan untuk memahami dan praktik untuk mengubah. Dalam hal ini, Marx berhasil keluar dari kebuntuan debat tentang prioritas antara pemikiran dan tindakan, antara refleksi dan aksi, karena berpikir, bagi Marx, adalah suatu bentuk tindakan, sebagaimana secara dialektis, bertindak adalah suatu bentuk kerja pemikiran dalam dunia nyata. Dalam kapasitas itu Marx secara personal tampil sebagai pemikir sekaligus aktivis pergerakan, dan teks-teksnya menjahit secara tak terpisahkan kedua aspek ini: sisi yang bertolak dari konfrontasinya dengan gagasan-gagasan, di satu sisi, dan sisi yang mencatat konfrontasi fisiknya dengan konstelasi pergerakan dan aktivisme yang ia hadapi.

Ketumpangtindihan itu muncul dari sini: kekaguman sebagian pembaca Marx terhadap Marx lalu seakan meniscayakan bahwa mereka harus meniru Marx dan segala atribut personal, atau juga jalan hidup, yang dipilihnya. Pilihan Marx sebagai seorang ateis lalu dipahami sebagai keharusan untuk juga menjadi ateis, jika ingin menjadi Marxis. Demikian juga, kekecewaannya pada agama diinternalisir sebagai kekecewaan yang mesti ditelan mentah-mentah agar spirit Marxisme menetes dalam diri mereka.

Pertanyaannya sekarang, dari mana muncul penerimaan bahwa Marxisme identik dengan ateisme? Dari perangai para Marxis-kah, dari biografi hidup Marx, atau dari teks-teks Marx sendiri? Perangai para Marxis, betapapun merefleksikan pemikiran Marxis yang mereka anut, tidak cukup meyakinkan untuk menjamin kebenaran opini yang telanjur menjadi stigma bagi Marxisme ini. Marxisme berkembang sebagai tradisi pemikiran dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda-beda, diresepsi, dan diapropriasi seturut kondisi-kondisi yang mensituasikan para Marxis tersebut. Untuk tahu mengapa mereka ateis, seseorang mesti mempelajari konteks diskursif Marxisme dan agama di ruang dan waktu tertentu di mana mereka hidup. Biografi Marx, demikian juga, tidak cukup memberi landasan untuk membenarkan opini itu. Marx, sebagaimana para sosialis dan komunis sebelumnya, tidak lepas dari konteks diskursif yang mempertemukannya dalam konfrontasi dengan agama, sehingga jika ia ateis, ada latar belakang biografis, sosial, dan politis, yang tidak terhindarkan mesti juga dipelajari. Di antara biografi Marx dan teks-teksnya, ada celah yang memungkinkan kita mencari jawaban atas pertanyaan ini.

Sederhananya, penting untuk mengetahui biografi Marx dan berbagai renik konteks kehidupannya, namun lebih penting lagi, membaca teks-teks Marx untuk mengkaji secara persis pemikiran dan teorinya tentang agama. Di antara biografi dan pembacaan atas teks-teks itu, kita akan menemukan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara Marxisme dan ateisme. Meski Marx memilih menjadi ateis, namun teks-teksnya bukan suatu ajakan untuk memeluk ateisme, atau mengandung suatu perintah ‘suci’—yang mesti ditaati pembacanya—untuk berganti haluan pada ateisme.

 ***
Sebagai sebuah teks ilmiah, apa yang ditulis tentang agama adalah sebuah wacana, wacana tentang agama. Untuk menempatkan pandangan Marx tentang agama sebagai suatu wacana tentang agama, teks Marx, tidak lebih istimewa daripada teks-teks lain yang menulis tentang agama, layak dibaca pertama-tama dalam kapasitasnya sebagai suatu tawaran metodologis. Dibaca secara metodologis, wacana ini memberikan bahan kajian dan refleksi tentang agama, pertama-tama sebagai objek kajian yang terbuka untuk dipelajari, dan kedua, sebagai salah satu cara—di antara sekian banyak cara lain yang bisa ditempuh—untuk melihat agama dari sudut pandang lain yang tidak normatif. Untuk melakukan pembacaan secara metodologis ini, seseorang memang perlu melepaskan terlebih dulu prasangka-prasangka pra-metodologisnya dan terbuka kepada wacana baru yang hendak dipelajari.

Wacana agama Marx, dilihat dari statusnya sebagai sebuah wacana tentang agama, tidak berbeda dengan wacana agama yang ditulis oleh seorang pendakwah agama yang paling konservatif atau fundamentalis sekalipun. Andaikan di depan saya ada sebuah teks yang ditulis Marx, dan di sebelahnya, ada sebuah teks yang ditulis oleh Osama bin Laden, tidak ada perbedaan antara keduanya dalam status keduanya sebagai wacana tentang agama.

Apa yang membedakan teks Marx persisnya dalam hal ini? Perbedaan teks Marx, lebih lanjut, terletak pada fakta bahwa wacana agama yang dibawanya adalah suatu kritik agama. Tidak berhenti pada fakta deskriptif tentang agama, Marx melancarkan suatu kritik agama, dalam arti menempatkan ‘agama,’ dalam ‘totalitas’-nya, sebagai suatu objek kritis. Terlepas dari nantinya apakah kritik ini fair atau tidak (suatu pertanyaan yang tidak ada salahnya diajukan dalam proses pembacaan ini), pertama-tama, seseorang perlu mencoba melihat pandangan agama Marx bukan menurut pandangan si pembaca, tetapi, secara dialektis, melihat agama di mata Marx, sebagaimana dilihat dan dipikirkan oleh Marx.

Dengan cara pandang parallax—perubahan posisi sebagai pembaca dari pelaku kritik menjadi objek kritik—terjadi eksteriorisasi, yakni kondisi ketika kita melihat diri kita terbelah antara diri kita sebagaimana hadir kepada diri kita, dan ‘citra’ diri kita sebagaimana dihadirkan oleh pihak yang lain. Secara analogis dapat dikatakan: melalui eksteriorisasi ini, kita melihat, di satu sisi, agama sebagaimana yang kita anut hadir pada diri kita, namun, agama itu tidak lagi sama karena di sisi lain, kita melihat agama sebagaimana dipikirkan oleh Marx terpantul sebagai suatu hal baru yang berbeda dari apa yang kita pikirkan tentang agama. Dengan demikian, terdapat dua ‘agama’ di sini: ‘agama’ sebagaimana yang saya yakini benar dan ‘agama’ sebagaimana dipikirkan oleh Marx dan terpantul pada agama yang saya yakini benar, namun menghadirkan sesuatu yang baru yang belum pernah saya pikirkan dalam agama yang saya yakini benar.

Dengan eksteriorisasi ini, agama dapat menjadi objek kritik, tanpa seseorang yang merasa beragama perlu melihat dengan motif personal apa kritik itu dilancarkan (tanpa melihat apakah yang mengatakannya seorang ateis atau teis). Terjadi gerak dari agama yang dihayati (interiorisasi) ke agama yang diamati (eksteriorisasi). Juga terjadi gerak depersonalisasi: dari agama yang diyakini secara pribadi ke agama sebagaimana yang ia lihat sebagai suatu fenomena eksternal, yaitu agama sebagai institusi sosial, atau yang disebut Durkheim, agama sebagai “fakta sosial”.

Bila boleh diresume dalam beberapa paragraf saja—meskipun hal ini perlu diuji dengan referensi tekstual yang ketat atas konstelasi teks-teks Marx sendiri—visi kritik (atau lebih tepatnya, ‘metakritik’) dalam kritik agama Marx adalah eksteriorisasi dan depersonalisasi agama ini, yaitu dorongan untuk menunjukkan bahwa agama adalah suatu fenomena eksternal yang objektif, yang melampaui gambaran agama sebagaimana diyakini oleh individu-individu pemeluk agama itu sendiri. Bahwa agama, dengan kata lain, bukan sebagaimana ‘aku’ atau ‘engkau’ yakini, tetapi adalah yang ‘kita’ dan ‘mereka’ lakukan, sebagai suatu fenomena sosial yang objektif, yang dapat diamati, sebagai rangkaian praktik yang membentuk suatu ‘totalitas’ bernama agama. Agama sebagai fenomena eksternal yang objektif ini—terlepas dari framing akademis yang dilakukan sesudahnya oleh sosiologi agama—menerjemahkan visi Marx, yang merentang dari teks Pendahuluan Kontribusi bagi Kritik Filsafat Hak Hegel sampai Ideologi Jerman, tentang perlunya memperlihatkan, terutama bagi pemeluk agama, sifat keduniaan dari agama: bahwa agama, begitu menjadi fenomena sosial—terlepas dari asal-usul keilahian atau profetiknya, yang nyaris tidak pernah disinggung Marx—mesti diperlakukan sebagai suatu kenyataan sosial yang sama objektif dan dapat diamati sebagaimana fenomena-fenomena sosial yang lain.

Secara anekdotal, Marx seperti ingin mengatakan: ‘Apapun yang engkau yakini atau siapapun yang engkau sembah, dengan nama apapun engkau menyebut sesembahanmu, atau dengan cara apapun engkau berdebat tentang siapa yang paling benar dalam caramu meyakini sesembahanmu, engkau dalam kenyataannya mempraktikkan apa yang engkau yakini dalam kehidupanmu sebagai makhluk sosial, dan hal terakhir ini yang kulihat dan hendak kukritik.’

Kesimpangsiuran persepsi tentang hubungan antara Marxisme dan agama, baik dari rata-rata kalangan Marxis terhadap kaum beragama maupun dari rata-rata kaum beragama terhadap Marxis, muncul dari kekaburan memahami posisi metodologis di mana Marx berdiri, yang merembet pada pencampuradukan posisi aksiologis-ideologis yang terbentuk kemudian. Dilihat dari rata-rata posisi Marxis terhadap kaum beragama, kritik agama Marx tampak sebagai suatu penolakan total atas agama sebagai ilusi yang harus ditinggalkan, di mana ateisme merupakan satu-satunya jalan keluar. Sementara itu, dilihat dari pandangan rata-rata kaum beragama, kritik Marx tampak sebagai permusuhan total terhadap agama, di mana penolakan atas Marx dan penyematannya sebagai ateisme merupakan jalan keluar.  Menarik melihat bahwa kedua posisi ini, meski berbeda dalam solusinya, berangkat dari titik tolak asumsi yang sama.

Kekaburan itu persisnya timbul dari pencampuradukan antara, kalau boleh saya istilahkan, dua logika yang sama-sama benar dan absah dikenakan untuk mengidentifikasi ‘agama:’ logika spiritual dan logika dunia. Logika spiritual melihat agama dengan parameter-parameter internal agama yang bertujuan memvalidasi kebenaran agama yang diyakini sebagai suatu hal yang ilahiah, sakral, dan abadi. Sementara, logika dunia melihat agama dengan parameter-parameter eksternal agama, yaitu agama sebagai praktik dan institusi yang bekerja dengan ‘hukum-hukum dunia’ yang bisa diamati, dan dapat berubah seiring dengan perubahan tata sosial yang membentuk dan dibentuknya.

Rata-rata kaum beragama menilai apa yang dilakukan Marx dalam kerangka logika spiritual yang mereka anut—sehingga kritik Marx dianggap serangan terhadap nilai-nilai terdalam agama—ketika kritik itu, di sisi lain, justru dibangun dengan logika dunia dan dialamatkan untuk memperlihatkan logika dunia dari agama itu sendiri. Sementara itu, rata-rata kaum Marxis, dalam kerangka logika dunia yang mereka anut, melihat kritik Marx ditujukan kepada logika spiritual agama, untuk menggantinya dengan suatu logika spiritual ‘baru,’ suatu ‘agama’ baru, atau suatu ‘kepercayaan’ baru—‘ateisme’—yang pada intinya adalah penolakan terhadap agama. Dengan demikian, menjadi lengkap sudah disjungsi total antara keduanya sehingga agama dan Marxisme dipostulatkan sebagai dua hal yang tidak pernah dapat dipertemukan.

Untuk mengurai simpul-simpul kebuntuan itu, apa yang bisa dilakukan adalah mencoba menempatkan masing-masing logika pada ranah kebenarannya sendiri: logika spiritual agama memiliki ranah kebenaran yang, pada-dirinya, dapat memvalidasi-diri, sejauh ia berurusan dengan parameter-parameter internal agama. Dalam hal ini, sekadar mengambil contoh, klaim agama tentang eksistensi Tuhan, misalnya, atau eksistensi kehidupan pasca-kematian, merupakan ranah di mana agama dapat memvalidasi-dirinya—dengan berbagai teologinya—karena hal-hal tersebut merupakan ranah di mana logika dunia tidak dapat sepenuhnya memverifikasi, tanpa terjebak oleh kebuntuan dan kesulitan-kesulitan. Dalam konteks klaim internalnya, ada kebenaran agama yang, dilihat dari logika spiritual dan ‘rasionalitas agama,’ masuk akal dan dapat diterima, walaupun dilihat dari logika dunia, kebenaran itu boleh jadi tidak masuk akal dan non-sense.

Di sisi lain, logika dunia memiliki ranah kebenarannya sendiri, yang juga valid pada-dirinya, ditinjau dari sudut bahwa ia dapat dipikirkan oleh ‘rasionalitas faktual’ dunia itu sendiri.  ‘Materialisme,’ sebagai suatu ontologi sosial (baca: pemikiran mendasar tentang masyarakat, individu, dan sejarah), dalam hal ini, sebagai suatu bentuk logika dunia (baca: cara memikirkan dunia sebagaimana adanya), memiliki kebenarannya yang dapat divalidasi dengan rasionalitas yang dapat dikenali dan dipelajari dari fakta-fakta dunia. Sebagai suatu logika dunia, materialisme berkepentingan untuk mencoba memahami dunia dengan memahami perubahan-perubahan yang inheren dan melekat pada dunia itu sendiri sebagai realitas yang ‘material.’ Agama adalah salah satu realitas ‘material’ itu, sehingga bila logika dunia membaca agama, ia membacanya dalam rangka memahami dinamika agama sebagai realitas ‘material.’ Dilihat dari logika dunia, hal ini masuk akal, walaupun dilihat dari logika spiritual agama, hal ini akan dipandang menistai kesakralan agama—suatu kekhawatiran yang sebenarnya terlalu berlebihan, dilihat dari logika dunia, karena bagaimanapun agama bisa eksis karena ia berpijak di atas dunia.

Dengan menempatkan kedua logika ini dalam ranah kebenarannya masing-masing, kita sepertinya tidak akan kesulitan untuk menjawab, misalnya, mengapa rata-rata Marxis belum bisa menerima agama sebagai suatu kenyataan ilahiah, karena mereka melihat fenomena ‘spiritual’ agama dengan logika dunia. Sebaliknya, kita akan mulai mengerti mengapa rata-rata kaum beragama tidak kunjung memahami kapitalisme, misalnya, sebagai suatu persoalan sosial dan bukan moral semata, karena mereka masih melihat perubahan-perubahan keduniaan dengan logika spiritual. Ketidaksinkronan ini mengakibatkan ketidakmampuan kedua pihak untuk mengakui kebenaran pihak lain, karena keduanya tidak melihat ranah di mana masing-masing bekerja.

Dua logika ini tentu kemudian tidak selamanya seterpisah kelihatannya, karena, di antara kepekatan yang melapisi keduanya, terdapat titik-titik persinggungan, titik-titik yang memungkinkan lahirnya hal-hal baru, pertemuan-pertemuan yang tak terduga, dan persilangan-persilangan yang mengejutkan. Titik persinggungan itu yang memungkinkan dunia dipikirkan oleh logika spiritual, yang melahirkan—untuk menyebut contoh klasik—Teologi Pembebasan, dalam berbagai versinya (Kristiani, Islam, atau Yahudi), atau pemikiran orang-orang seperti Thomas Münzer, teolog pemimpin para petani revolusioner dari abad ke-16. Gagasan-gagasan ini dapat dilihat sebagai pelampauan logika spiritual agama untuk keluar dari ranah kebenarannya sendiri dan bertemu dengan kenyataan faktual dunia. Di sisi lain, terdapat titik persinggungan yang memungkinkan agama dipikirkan-ulang oleh logika dunia, seperti tercermin dari gagasan Engels yang melihat kesejajaran antara sosialisme modern dan agama Kristen primitif, dalam cita-cita pembebasan keduanya.

Pemikiran Engels terdengar dari jauh seperti sebuah teologi, hingga kita akan salah mengira bahwa dia seorang teolog. Di sisi lain, Münzer dari jauh tampak seperti seorang ateis yang revolusioner, meski nyatanya ia seorang agamawan yang taat. Kesan yang menipu ini barangkali sedikit isyarat, bahwa pada gilirannya menjadi tidak relevan atribut ateis atau teis yang disandang. Ateisme mungkin adalah pilihan yang masuk akal bagi sementara orang, walaupun tentunya bukan pilihan cerdas dan terbaik. Tetapi, seorang ateis seperti Engels yang mau bersusah payah memikirkan agama, setidaknya lebih baik, menurut logika dunia, daripada seorang agamawan yang lebih sibuk memikirkan ‘keagungan’ agamanya, di tengah masyarakat yang lapar dan pemerintahan yang korup. 

***
oleh: Muhammad Al-Fayyadl