Rabu, 19 Juni 2013

Pada sebuah jalan diagonal



pada sebuah jalan diagonal
ada bangunan berdiri megah
sekitarnya bangunan hanya rendah

selarik mantra yang tak minta dibaca
terukir rapi di bawah matahari yang berpendar
tepat di tembok sebuah balairung sepi
hanya gema yang tersisa
dari sebuah slogan yang patah

5 tahun yang lalu
waktu pertama aku tak sengaja
berpapasan, lalu ku sapa ia
sebuah pertemuan yang dingin
aku bahkan tak sempat melihat punggungnya

di dalam
tak ada semak dan beringin
hanya angin
yang seringkali membawa aroma tahi
kerbau yang tak malu
menyelinap di ruang-ruang kuliah yang kotak

aku duduk
memandang dari seberang jalan
sembari menunggu makan malam
bersama seorang rekan yang mungkin
tak peduli dengan nasib
ia suka pakai peci, lurus dan kaku

seperti rumput yang tak pernah belajar menari
otak menolak untuk beku
kenangan menggurat tintanya
pada kertas kaku
dan toga yang kedodoran

aku tak pernah mendapat apa-apa di sana
bahkan cinta

mungkin bulan sayu malam itu
hanya lengking tajam dari sempritan
satpam yang terdengar di gerbang depan
pada setiap detik di tepi hari
dan poster-poster yang bosan
tak mengatakan apapun

lebih dari sekadar bangunan
di sana hitam, putih melebur dalam ke-abu-abu-an

mungkin canda,
tawa yang menyembunyikan tangis sendu
tak pernah menjelaskan apa-apa
tapi kekonyolan yang seakan menertawakan
buku-buku tebal di dalam ruang dosen yang ‘mambu mall’

laku kenthir yang lepas
sejarah yang koplak
semua itu hidup
dalam ingatanku
ingatan sebagian kalian

Minggu, 16 Juni 2013

The Man of Steel




Masa kecil adalah suatu masa dimana manusia hidup seperti di surga. Anak-anak  punya kebebasan yang, meski tidak mutlak, luas untuk melihat dan menafsir dunianya tanpa dibebani embel-embel yang memberatkan. Saya teringat kala itu saat memakai topeng dengan memegang galah kecil beraksi layaknya ksatria baja hitam atau power rangers. Tentu mereka, dan saya, sangat menyukai tontonan yang menyuguhkan aksi heroik dari para ikon superhero di layar kaca. Dengan mengenakan sarung milik bapak untuk dikenakan di punggung, jadilah saat itu kita layaknya: Superman.

Agaknya cita-cita adalah milik semua individu dan bukan hanya hak anak-anak saja. Ketika pada masa kecil, setiap orang ingin menjadi jagoan yang membela kebenaran, menangkap penjahat, melindungi orang lain, dipuja orang lain, cita-cita itu sejatinya masih ada dalam benak mereka saat beranjak dewasa. Namun ketika berhadapan dengan ‘musuh’, yaitu realitas sehari-hari meraka seolah lupa dengan cita-cita masa kecilnya yang sangat mulia itu. Mungkin seiring dengan perkembangan ‘nalar’, sikap oportunis dan ekonomis lebih dianggap menguntungkan karena hasilnya langsung diperoleh saat itu juga atau jika harus menunggu pun tidak lama.

Kita tahu cita-cita, dalam hal ini harapan, adalah sebuah pegangan bagi manusia untuk menjalani hidup yang absurd. Hidup yang, untuk meminjam bahasa Goenawan Mohamad; 'seperti hujan yang gagal'. Ia yang memberi arti pada diri. Sekali harapan itu musnah, taka ada berarti lagi hidup. Mungkin itu pesan yang ingin disampaikan dalam film terbaru dari serial terkenal Superman: The Man of Steel. Saya bersama beberapa rekan baru saja menontonnya. Saya baru tahu kalau arti lambang ‘S’ di dada busungnya itu ‘harapan’.

Superman, secara etimologis, berarti manusia yang melampaui manusia secara umum. Ia dilahirkan, menurut cerita, dengan kelebihan khusus. Terasa sangat jelas bahwa ia ‘bukan manusia’. Tentu, ia bukan dari bumi. Ia berasal dari planet nun jauh di galaksi sana, krypton. Pada satu adegan, saat ia bersama teman-teman sekolahnya menaiki bus hendak ke suatu tempat, tiba-tiba bus itu mengalami pecah ban tepat ditengah sebuah jembatan sempit tanpa pembatas. Pengemudi tak kuasa mengendalikan laju bis yang liar dan akhirnya, tak bisa dihindari, bus itu terjun bebas ke sungai yang cukup dalam. Secara normal ia dan semua rekannya akan mati dan praktis setelah itu, cerita usai. Tapi ada yang ‘bukan manusia’ di dalam bus itu. Saat semua penumpang bus tenggelam dalam tangis dan hampir putus asa, sang dewa menunjukan kuasanya. Diangkatnya bus itu ke permukaan dan selamatlah semua penumpang.

Namun Clark, nama anak itu, juga boleh dibilang manusia karena ia dibesarkan oleh orang tua angkatnya, dari bayi sampai dewasa. Persis seperti anak normal lainnya. Ia pun sekolah, membaca buku, dan, yang khas manusia, jatuh cinta. Hal ini sedikit banyak membentuk kepribadian sang manusia super itu. Asah, asih, asuh dari orang tua yang ditakdirkan untuk mendidik dan merawatnya itu, membentuk jiwa penuh welas asih dari sang manusia super. Mungkin karena itu bagian dari scenario film, karena bisa saja ia ditemukan oleh orang yang ‘salah’.

Menarik dalam film itu adalah sosok utama pada diri Clark Kent. Pergulatan dalam dirinya antara takdir dan kebebasan, antara jiwa patriotik dan kemanusiaan, antara super dan man, sangat menggelitik untuk setidaknya ‘disentil’. Sebagai orang beragama tentu sudah selayaknya untuk percaya kepada takdir karena memang setiap agama memberi doktrin itu, mungkin juga isme-isme lain. Sebuah jalan hidup yang memang sudah digariskan oleh yang maha mengetahui, Tuhan. Tapi di sisi lain, manusia juga punya kebebasan. Kebebasan yang diperoleh karena kata Sartre, kita manusia oleh karenanya kita bebas.

Sedikit menilik ke awal cerita, ia memang seolah ditakdirkan lahir sebagai manusia khusus. Ia adalah anak seorang ‘purnawirawan’ jendral dari planet krypton. Otomatis, kelak ia juga akan menjadi seorang ksatria untuk bangsanya. Yang membuatnya khusus adalah kelahirannya yang normal alamiah dari Rahim seorang wanita, yaitu ibunya sendiri, Lara. Kelahiran ini adalah sebuah kejadian langka di planet krypton yang mempunyai tradisi untuk mementukan nasib seorang individu, bahkan sejak masih janin. Agaknya sang ayah, Jar El, menyadari bahwa anaknya bukanlah boneka, dan ia harus bebas. Lalu ia memutuskan untuk megirim si anak ke Planet yang jauh agar bias terbebas dari tradisi. Pilihan yang tepat, mungkin pula tidak, adalah Bumi.

Syahdan, ketika ia harus menghadapi Jendral Zod dan pengikutnya yang tersisa dari planet crypton yang sudah ambrol, ia dihadapkan pada pilihan yang sulit. Memilih membela Bumi yang selama ini ia tinggali atau ‘menjalani takdir’ sebagai ksatria untuk bangsanya. Pilihan antara menjadi humanis atau patriotik. Pada akhirnya ia memilih untuk bebas dari jerat takdir yang memaksanya untuk menjadi seorang ksatria bangsanya. Ia memilih untuk jadi ‘humanis’ dengan melawan si Jendral, yang ingin mendirikan imperium krypton baru di Bumi, begitu ceritanya. Sudah bisa ditebak, Superman yang humanis itu menang. Superman telah memilih untuk menjadi manusia sperti pada umumnya


Selalu ada yang bisa dipungut dari sebuah kejadian. Agaknya itu pula yang dapat diambil dari film the man of steel yang baru-baru ini tayang. Film yang secara implisit mengisahkan seorang subjek yang terbelah, tak utuh. Sekalipun ia manusia super. Mungkin ia manusia baja, atau dalam judul lain, The Man From Tommorow. Tapi embel-embel man, tetap menjejakkan kakinya ke Bumi, bukan dewa di awang-awang. Ia tak lepas dari kecut yang merembes dari musim. Tegangan antara takdir dan kebebasan senantiasa melekat di bajunya yang ketat.

Minggu, 02 Juni 2013

Pancasila dan Ketuhanan



“…Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”


Begitulah tertulis pada bagian terakhir alinea ke-4 dari pembukaan UUD 1945. Terdapat lima butir sila yang Negara Indonesia harus berdasarkan kepadanya. Lima butir itulah yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Sekarang, tanggal teks ini ditulis, adalah 1 Juni 2013; hari yang diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Sudah lebih dari enam dasawarsa Pancasila hidup dan menjadi dasar Negara dan pedoman hidup bagi bangsa Indonesia.

Secara de facto, Pancasila sejatinya sudah menjadi falsafah dan nilai-nilai luhur orang-orang Nusantara (sebelum lahirnya Indonesia) sejak dahulu kala. Bung Karno pernah mengatakan bahwa dia bukanlah pencetus Pancasila. Dia hanya menggali kembali nilai-nilai luhur bangsa yang sudah lama terkubur dan terlupakan. Artinya, Pancasila ini pernah ada jauh sebelum para koloni menduduki nusantara ini. Sampai sejauh Bung Karno menggali nilai-nilai itu akhirnya beliau rumuskannya ke dalam lima butir sila atau dalam bahasa Sansekerta Pancasila,  yang pada intinya adalah Gotong Royong.

Dari rentang sejarah sejak kelahirannya secara ‘resmi’ hampir 70 tahun silam, Pancasila telah mengalami berbagai ujian. Era Orde Baru menjadikan Pancasila sebuah mantra keramat yang penuh kuasa untuk merepresi lawan politik bahkan kebebasan rakyat untuk berpendapat, berekspresi dan mencoba menawarkan tafsir yang berbeda dari tafsir penguasa saat itu. Selanjutnya Pancasila hanya menjadi semacam slogan simbol eksklusif dari kekuasaan yang sama sekali jauh dari pengamalannya.

Runtuhnya Orde Baru tidak otomatis membuat Pancasila kembali memperlihatkan taringnya. Justru yang terjadi adalah semacam ‘trauma sosial’ terhadap dasar Negara Indonesia tersebut. Masyarakat menganggap Pancasila adalah retorika politik semata, yang justru merepresi hak mereka untuk berkreasi dan berpendapat, disamping derasnya paham-paham baru terutama liberalisme barat yang masuk dan mencoba menawarkan sebuah kebebasan manusia dalam mengaktualisasikan diri. Semakin reduplah pancasila saat itu. Goenawan Mohamad menganalogikan ‘pengsakralan’ Pancasila oleh Orde Baru ibarat penculikan Sita oleh Rahwana. Ketika Sita berhasil direbut dari tangan Rahwana, orang-orang mempertanyakan kembali kesucian Sita –bahkan menurut cerita Sita terlebih dahulu dibakar untuk membuktikan kesuciannya kepada Rama.

Saya kira analogi tersebut ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya relevan. Mengingat arah reformasi yang semakin tak jelas, bangsa Indonesia membutuhkan sebuah landasan dasar, dalam bahasa Bung Karno philosophische grondslag, yang mendasari sikap mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan itu adalah Pancasila. Untaian kata dari setiap sila dari pancasila, bukanlah sekadar hafalan doa, mantra, apalagi retorika. Memang secara bahasa cukup estetis, tetapi akan sangat indah jika pengamalan dari kelima sila itu dikerjakan dalam laku sehari-hari. Pepatah jawa mengatakan ‘ngelmu kuwi kalakone kanthi laku’, seseorang bisa disebut ‘berpancasila’ jika dalam laku kesehariannya menjunjung tinggi nilai-nilai yang ada di dalam pancasila itu sendiri.

Sila pertama berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Kalimat yang indah sekaligus dalam dan sarat makna. Mungkin saja Bung Karno sudah memperhitungkan hal ini, meskipun beliau sendiri tak memungkiri bahwa urutan sila dari pancasila tidak punya makna yang hierarkis, akan tetapi setiap sila saling mendukung satu sama lain. Menurut saya, tanpa mengacuhkan sila yang lain, sila pertama ini adalah motor penggerak, ruh yang menjiwai pancasila itu sendiri. Mungkin saya ingat pernah membaca teks mengenai seorang Filsuf Yunani, Aristoteles, yang pernah mengatakan bahwa Causa Prima (dia tidak menyebut tuhan) adalah penggerak pertama yang menyababkan benda-benda lain bergerak sedangkan geraknya sendiri tidak disebabkan dan tidak tergantung dengan yang lain.

Kata Esa dalam kalimat Ketuhanan yang maha esa juga punya problem makna tersendiri. Esa sering diartikan dengan satu. Kita tahu, esa bukan eka. Jika Tuhan itu satu, artinya esensi dari Tuhan telah direduksi. Bagaimana mungkin Ia, yang dalam kitab suci disebutkan, tak serupa dengan apapun, dijerat oleh simbolisasi angka satu. Ketika orang mengatakan Tuhan itu satu maka persis disitulah tragedy dimana, untuk meminjam istilah Nitzsche, Got Its Tot. Tuhan mati justru di tempat-tempat suci dimana Ia disembah. Ia dikerangkeng untuk tidak lari menyambangi tempat-tempat kumuh di pinggiran kali, gubuk-gubuk reyot di kolong jembatan, tenda-tenda pengungsian dan bahkan tempat-tempat prostitusi yang hina. Seakan-akan tuhan hanya milik orang ‘beragama’ saja. Padahal dalam Weda, kitab suci Hindu, terdapat sebuah seruan yang cukup jelas berbunyi Om, anobadrah kratavo yantu visvatah yang artinya Ya Tuhan, semoga kebenaran datang dari segala penjuru.


Kita tahu di Indonesia ini, berbicara mengenai Tuhan, juga Agama, dinilai masih cukup ‘berbahaya’. Sensitif dan sentimentil. Kerukunan antar umat beragama yang dicita-citakan sangat sulit diwujudkan. Masih sangat langka dijumpai penghargaan terhadap kaum minoritas, bahkan dalam satu agama. Terkadang orang masih terjebak pada fanatisme sempit yang didasari oleh sifat narsisme yang menganggap dirinya paling benar dan, yang paling buruk, mengutuk dan ‘mengkafirkan’ orang lain yang tidak seagama. Mungkin karena orang Indonesia lebih memuliakan agama dari pada Tuhan. Bagaimanapun agama dengan syariat dan ritual di dalamnya adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dan jika seseorang sudah dekat dengan Tuhannya, tentu perilaku dan sikap terhadap sesama akan baik, penuh kasih dan sayang, mengasihi dan melayani. Sebagaimana sifat Tuhan ar Rahman dan ar Rahim.