“…Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Begitulah tertulis pada bagian terakhir alinea ke-4 dari
pembukaan UUD 1945. Terdapat lima butir sila yang Negara Indonesia harus
berdasarkan kepadanya. Lima butir itulah yang sekarang dikenal dengan
Pancasila. Sekarang, tanggal teks ini ditulis, adalah 1 Juni 2013; hari yang
diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Sudah lebih dari enam dasawarsa
Pancasila hidup dan menjadi dasar Negara dan pedoman hidup bagi bangsa
Indonesia.
Secara de facto,
Pancasila sejatinya sudah menjadi falsafah dan nilai-nilai luhur orang-orang
Nusantara (sebelum lahirnya Indonesia) sejak dahulu kala. Bung Karno pernah
mengatakan bahwa dia bukanlah pencetus Pancasila. Dia hanya menggali kembali
nilai-nilai luhur bangsa yang sudah lama terkubur dan terlupakan. Artinya,
Pancasila ini pernah ada jauh sebelum para koloni menduduki nusantara ini.
Sampai sejauh Bung Karno menggali nilai-nilai itu akhirnya beliau rumuskannya
ke dalam lima butir sila atau dalam bahasa Sansekerta Pancasila, yang pada intinya
adalah Gotong Royong.
Dari rentang sejarah sejak kelahirannya secara ‘resmi’
hampir 70 tahun silam, Pancasila telah mengalami berbagai ujian. Era Orde Baru
menjadikan Pancasila sebuah mantra keramat yang penuh kuasa untuk merepresi
lawan politik bahkan kebebasan rakyat untuk berpendapat, berekspresi dan mencoba
menawarkan tafsir yang berbeda dari tafsir penguasa saat itu. Selanjutnya
Pancasila hanya menjadi semacam slogan simbol eksklusif dari kekuasaan yang
sama sekali jauh dari pengamalannya.
Runtuhnya Orde Baru tidak otomatis membuat Pancasila kembali memperlihatkan taringnya. Justru yang terjadi adalah semacam ‘trauma sosial’ terhadap dasar Negara Indonesia tersebut. Masyarakat menganggap Pancasila adalah retorika politik semata, yang justru merepresi hak mereka untuk berkreasi dan berpendapat, disamping derasnya paham-paham baru terutama liberalisme barat yang masuk dan mencoba menawarkan sebuah kebebasan manusia dalam mengaktualisasikan diri. Semakin reduplah pancasila saat itu. Goenawan Mohamad menganalogikan ‘pengsakralan’ Pancasila oleh Orde Baru ibarat penculikan Sita oleh Rahwana. Ketika Sita berhasil direbut dari tangan Rahwana, orang-orang mempertanyakan kembali kesucian Sita –bahkan menurut cerita Sita terlebih dahulu dibakar untuk membuktikan kesuciannya kepada Rama.
Runtuhnya Orde Baru tidak otomatis membuat Pancasila kembali memperlihatkan taringnya. Justru yang terjadi adalah semacam ‘trauma sosial’ terhadap dasar Negara Indonesia tersebut. Masyarakat menganggap Pancasila adalah retorika politik semata, yang justru merepresi hak mereka untuk berkreasi dan berpendapat, disamping derasnya paham-paham baru terutama liberalisme barat yang masuk dan mencoba menawarkan sebuah kebebasan manusia dalam mengaktualisasikan diri. Semakin reduplah pancasila saat itu. Goenawan Mohamad menganalogikan ‘pengsakralan’ Pancasila oleh Orde Baru ibarat penculikan Sita oleh Rahwana. Ketika Sita berhasil direbut dari tangan Rahwana, orang-orang mempertanyakan kembali kesucian Sita –bahkan menurut cerita Sita terlebih dahulu dibakar untuk membuktikan kesuciannya kepada Rama.
Saya kira analogi tersebut ada benarnya, tapi tidak
sepenuhnya relevan. Mengingat arah reformasi yang semakin tak jelas, bangsa
Indonesia membutuhkan sebuah landasan dasar, dalam bahasa Bung Karno philosophische grondslag, yang
mendasari sikap mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan itu adalah
Pancasila. Untaian kata dari setiap sila dari pancasila, bukanlah sekadar
hafalan doa, mantra, apalagi retorika. Memang secara bahasa cukup estetis,
tetapi akan sangat indah jika pengamalan dari kelima sila itu dikerjakan dalam
laku sehari-hari. Pepatah jawa mengatakan ‘ngelmu
kuwi kalakone kanthi laku’, seseorang bisa disebut ‘berpancasila’ jika
dalam laku kesehariannya menjunjung tinggi nilai-nilai yang ada di dalam
pancasila itu sendiri.
Sila pertama berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Kalimat
yang indah sekaligus dalam dan sarat makna. Mungkin saja Bung Karno sudah
memperhitungkan hal ini, meskipun beliau sendiri tak memungkiri bahwa urutan
sila dari pancasila tidak punya makna yang hierarkis, akan tetapi setiap sila
saling mendukung satu sama lain. Menurut saya, tanpa mengacuhkan sila yang
lain, sila pertama ini adalah motor penggerak, ruh yang menjiwai pancasila itu
sendiri. Mungkin saya ingat pernah membaca teks mengenai seorang Filsuf Yunani,
Aristoteles, yang pernah mengatakan bahwa Causa
Prima (dia tidak menyebut tuhan) adalah penggerak pertama yang menyababkan
benda-benda lain bergerak sedangkan geraknya sendiri tidak disebabkan dan tidak
tergantung dengan yang lain.
Kata Esa dalam kalimat Ketuhanan yang maha esa juga punya
problem makna tersendiri. Esa sering diartikan dengan satu. Kita tahu, esa bukan eka. Jika Tuhan itu
satu, artinya esensi dari Tuhan telah direduksi. Bagaimana mungkin Ia, yang dalam
kitab suci disebutkan, tak serupa dengan apapun, dijerat oleh simbolisasi angka
satu. Ketika orang mengatakan Tuhan itu satu maka persis disitulah tragedy dimana,
untuk meminjam istilah Nitzsche, Got Its
Tot. Tuhan mati justru di tempat-tempat suci dimana Ia disembah. Ia dikerangkeng
untuk tidak lari menyambangi tempat-tempat kumuh di pinggiran kali, gubuk-gubuk
reyot di kolong jembatan, tenda-tenda pengungsian dan bahkan tempat-tempat
prostitusi yang hina. Seakan-akan tuhan hanya milik orang ‘beragama’ saja. Padahal
dalam Weda, kitab suci Hindu, terdapat sebuah seruan yang cukup jelas berbunyi Om, anobadrah kratavo yantu visvatah
yang artinya Ya Tuhan, semoga kebenaran datang dari segala penjuru.
Kita tahu di Indonesia ini, berbicara mengenai Tuhan, juga
Agama, dinilai masih cukup ‘berbahaya’. Sensitif dan sentimentil. Kerukunan
antar umat beragama yang dicita-citakan sangat sulit diwujudkan. Masih sangat
langka dijumpai penghargaan terhadap kaum minoritas, bahkan dalam satu agama. Terkadang
orang masih terjebak pada fanatisme sempit yang didasari oleh sifat narsisme yang menganggap dirinya paling
benar dan, yang paling buruk, mengutuk dan ‘mengkafirkan’ orang lain yang tidak
seagama. Mungkin karena orang Indonesia lebih memuliakan agama dari pada Tuhan.
Bagaimanapun agama dengan syariat dan ritual di dalamnya adalah sarana untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Dan jika seseorang sudah dekat dengan Tuhannya,
tentu perilaku dan sikap terhadap sesama akan baik, penuh kasih dan sayang,
mengasihi dan melayani. Sebagaimana sifat Tuhan ar Rahman dan ar Rahim.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus