Minggu, 16 Juni 2013

The Man of Steel




Masa kecil adalah suatu masa dimana manusia hidup seperti di surga. Anak-anak  punya kebebasan yang, meski tidak mutlak, luas untuk melihat dan menafsir dunianya tanpa dibebani embel-embel yang memberatkan. Saya teringat kala itu saat memakai topeng dengan memegang galah kecil beraksi layaknya ksatria baja hitam atau power rangers. Tentu mereka, dan saya, sangat menyukai tontonan yang menyuguhkan aksi heroik dari para ikon superhero di layar kaca. Dengan mengenakan sarung milik bapak untuk dikenakan di punggung, jadilah saat itu kita layaknya: Superman.

Agaknya cita-cita adalah milik semua individu dan bukan hanya hak anak-anak saja. Ketika pada masa kecil, setiap orang ingin menjadi jagoan yang membela kebenaran, menangkap penjahat, melindungi orang lain, dipuja orang lain, cita-cita itu sejatinya masih ada dalam benak mereka saat beranjak dewasa. Namun ketika berhadapan dengan ‘musuh’, yaitu realitas sehari-hari meraka seolah lupa dengan cita-cita masa kecilnya yang sangat mulia itu. Mungkin seiring dengan perkembangan ‘nalar’, sikap oportunis dan ekonomis lebih dianggap menguntungkan karena hasilnya langsung diperoleh saat itu juga atau jika harus menunggu pun tidak lama.

Kita tahu cita-cita, dalam hal ini harapan, adalah sebuah pegangan bagi manusia untuk menjalani hidup yang absurd. Hidup yang, untuk meminjam bahasa Goenawan Mohamad; 'seperti hujan yang gagal'. Ia yang memberi arti pada diri. Sekali harapan itu musnah, taka ada berarti lagi hidup. Mungkin itu pesan yang ingin disampaikan dalam film terbaru dari serial terkenal Superman: The Man of Steel. Saya bersama beberapa rekan baru saja menontonnya. Saya baru tahu kalau arti lambang ‘S’ di dada busungnya itu ‘harapan’.

Superman, secara etimologis, berarti manusia yang melampaui manusia secara umum. Ia dilahirkan, menurut cerita, dengan kelebihan khusus. Terasa sangat jelas bahwa ia ‘bukan manusia’. Tentu, ia bukan dari bumi. Ia berasal dari planet nun jauh di galaksi sana, krypton. Pada satu adegan, saat ia bersama teman-teman sekolahnya menaiki bus hendak ke suatu tempat, tiba-tiba bus itu mengalami pecah ban tepat ditengah sebuah jembatan sempit tanpa pembatas. Pengemudi tak kuasa mengendalikan laju bis yang liar dan akhirnya, tak bisa dihindari, bus itu terjun bebas ke sungai yang cukup dalam. Secara normal ia dan semua rekannya akan mati dan praktis setelah itu, cerita usai. Tapi ada yang ‘bukan manusia’ di dalam bus itu. Saat semua penumpang bus tenggelam dalam tangis dan hampir putus asa, sang dewa menunjukan kuasanya. Diangkatnya bus itu ke permukaan dan selamatlah semua penumpang.

Namun Clark, nama anak itu, juga boleh dibilang manusia karena ia dibesarkan oleh orang tua angkatnya, dari bayi sampai dewasa. Persis seperti anak normal lainnya. Ia pun sekolah, membaca buku, dan, yang khas manusia, jatuh cinta. Hal ini sedikit banyak membentuk kepribadian sang manusia super itu. Asah, asih, asuh dari orang tua yang ditakdirkan untuk mendidik dan merawatnya itu, membentuk jiwa penuh welas asih dari sang manusia super. Mungkin karena itu bagian dari scenario film, karena bisa saja ia ditemukan oleh orang yang ‘salah’.

Menarik dalam film itu adalah sosok utama pada diri Clark Kent. Pergulatan dalam dirinya antara takdir dan kebebasan, antara jiwa patriotik dan kemanusiaan, antara super dan man, sangat menggelitik untuk setidaknya ‘disentil’. Sebagai orang beragama tentu sudah selayaknya untuk percaya kepada takdir karena memang setiap agama memberi doktrin itu, mungkin juga isme-isme lain. Sebuah jalan hidup yang memang sudah digariskan oleh yang maha mengetahui, Tuhan. Tapi di sisi lain, manusia juga punya kebebasan. Kebebasan yang diperoleh karena kata Sartre, kita manusia oleh karenanya kita bebas.

Sedikit menilik ke awal cerita, ia memang seolah ditakdirkan lahir sebagai manusia khusus. Ia adalah anak seorang ‘purnawirawan’ jendral dari planet krypton. Otomatis, kelak ia juga akan menjadi seorang ksatria untuk bangsanya. Yang membuatnya khusus adalah kelahirannya yang normal alamiah dari Rahim seorang wanita, yaitu ibunya sendiri, Lara. Kelahiran ini adalah sebuah kejadian langka di planet krypton yang mempunyai tradisi untuk mementukan nasib seorang individu, bahkan sejak masih janin. Agaknya sang ayah, Jar El, menyadari bahwa anaknya bukanlah boneka, dan ia harus bebas. Lalu ia memutuskan untuk megirim si anak ke Planet yang jauh agar bias terbebas dari tradisi. Pilihan yang tepat, mungkin pula tidak, adalah Bumi.

Syahdan, ketika ia harus menghadapi Jendral Zod dan pengikutnya yang tersisa dari planet crypton yang sudah ambrol, ia dihadapkan pada pilihan yang sulit. Memilih membela Bumi yang selama ini ia tinggali atau ‘menjalani takdir’ sebagai ksatria untuk bangsanya. Pilihan antara menjadi humanis atau patriotik. Pada akhirnya ia memilih untuk bebas dari jerat takdir yang memaksanya untuk menjadi seorang ksatria bangsanya. Ia memilih untuk jadi ‘humanis’ dengan melawan si Jendral, yang ingin mendirikan imperium krypton baru di Bumi, begitu ceritanya. Sudah bisa ditebak, Superman yang humanis itu menang. Superman telah memilih untuk menjadi manusia sperti pada umumnya


Selalu ada yang bisa dipungut dari sebuah kejadian. Agaknya itu pula yang dapat diambil dari film the man of steel yang baru-baru ini tayang. Film yang secara implisit mengisahkan seorang subjek yang terbelah, tak utuh. Sekalipun ia manusia super. Mungkin ia manusia baja, atau dalam judul lain, The Man From Tommorow. Tapi embel-embel man, tetap menjejakkan kakinya ke Bumi, bukan dewa di awang-awang. Ia tak lepas dari kecut yang merembes dari musim. Tegangan antara takdir dan kebebasan senantiasa melekat di bajunya yang ketat.

1 komentar:

  1. sayang sekali cerita superhero macam superman ini malah kadang jadi alienasi bagi anak2 kecil seusia mas nyumbel dulu yang terhipnotis bahkan berimajinasi seolah jadi pembasmi kejahatan yang fiktif pula. karena hidup dan realitas yang sejati adalah pergulatan dan perjuangan untuk melakukan emansispasi baik ekonomi-politik, atau budaya. itu lah hidup, bukan khayal yang hanya mempertontonkan supremasi sang Raja Globalisasi neo-lib itu! karenanya superhero adalah mereka yang berjuang melawan keserakahan, otoritarianisme, kapitalisme, dan segala tetek bengek dunia yang belum jua berakhir ini...hahahaha

    BalasHapus